“Saat memandang matahari tenggelam di Menara Eiffel, Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al-Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, saya berssimpuh. Matahari tenggelam yang saya lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih saying dan semangat toleransi antarumat beragama.” (Hal.8 bagian Prolog)
Saya teringat kata sahabat Ali ra.:
Wahai anakku! Dunia ini
bagaikan samudra tempat banyak ciptaan-ciptaan-Nya yang tenggelam. Maka
jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada
Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai
layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nakhoda
perjalananmu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan. (Ali
bin Abi Thalib ra.) hal.9
Siapakah
sebenarnya yang aku bela dalam perang ini? Diriku sendiri? Sultanku? Agamaku?
Atau ketamakanku? (hal.15 bagian Overture)
Bagian I Wina
Empat tempat yang sangat ingin dia
kunjungi: di sebelah barat adalah Al-Andalus alias Spanyol dengan ibu kotanya
Cordoba, kedua adalah Sisilia di Italia. Di sebelah timur Eropa adalah ibu kota
Romawi Byzantium Konstantinopel atau Istanbul di Turki, dan terakhir adalah
Wina, Austria. (hal.44 bagian 4)
Hari itu Fatma, orang biasa yang baru
kukenal 2 minggu lalu di kelas bahasa Jerman, memberiku pelajaran luar biasa.
Aku tak perlu mendengarkan para ustaz atau ulama di TV yang mengajarkan arti
kesabaran dan menahan emosi. Aku juga tak perlu mendengarkan khotbah para
motivator hidup dan kesuksesan yang semakin menjamur di layar kaca. Aku juga tak
perlu membaca kutipan kata-kata wisdom of
life dari para tweep dan facebooker. Hari itu Fatma memberiku
pesan yang sangat jelas, konkret tentang cara menahan diri yang belum tentu
bisa dilakukan sembarang orang. (hal.46 bagian 4)
Aku berusaha meresapi kata-kata
Fatma. Menjadi agen Islam yang baik di Eropa. Terdengar sangat mulia. Terang
saja, karena di dunia ini sudah terlalu banyak agen muslim gadungan yang
membajak nama agama dengan teror dan penghasutan. Sekarang ini dibutuhkan
mendesak agen muslim yang menyebar kebaikan dan sikap positif. Yang kuat
menahan diri, mengalah bukan karena kalah, tetapi mengalah karena sudah memetik
kemenangan hakiki. Membalas olok-olok bukan dengan balik mengolok-olok, tetapi
membalasnya dengan memanusiakan si pengolok-olok, membayari penuh seluruh
makanan dan minuman mereka. (hal.48 bagian 4)
“Konsep ikhlas memberi dan menerima. Take and give. Natalie Deewan percaya
bahwa sisi terindah dari manusia yang sesungguhnya adalah kedermawanan.”
(hal.58 bagian 6)
“Dan ini adalah ajaran Islam yang
sangat mendasar. Berderma dan berzakat membersihkan diri sepanjang waktu,”
Fatma menambahkan. (hal.59 bagian 6)
Tapi dia percaya keteladanan
berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Dia yakin, air talang yang hanya
jatuh setetes-setetes pada batu yang keras lama-lama bisa membuat ceruk di
permukaannya. Bututh waktu memang, tapi dengan kelembutan, ketekunan, dan
komitmen, tetesan air mampu menembus kerasnya bebatuan. Batu pun berubah bentuk
tanpa luka dan goresan. Menjelma menjadi batuan baru alami yang bukan dibentuk
oleh gesekan mesin atau gosokan parang.
Fatma yakin bahwa menebar pengaruh
kepada seseorang dengan cara-cara yang memaksakan, menggurui, menghasut,
menyerang, atau membandingkan sudah bukan zamannya lagi. Bagi Fatma, semua itu
sudah using sejak dia sadar bangsanya pernah menyimpan memori buruk kegagalan.
SYIAR MUSLIM DI AUSTRIA
1. TEBARKAN
SENYUM INDAHMU
2. KUASAI
BAHASA JERMAN DAN INGGRIS
3. SELALU
JUJUR DALAM BERDAGANG (hal.90 bagian 9)
Aku yakin, sebagian besar manusia
yang berpindah agama untuk memeluk Islam bukanlah mereka yang terpengaruh debat
dan diskusi antaragama. Bukan karena terpaksa karena menikah dengan pasangan.
Bukan karena mereka mendengarkan ceramah agama Islam yang berat dan tak
terjamah oleh pikiran awam manusia. Bukan karena semua itu. Sebagaimana Ezra
yang tadinya apatis pada agama, dia jatuh cinta kepada Islam karena pesona umat
pemeluknya. Seperti Latife yang selalu mengumbar senyumnya. Seperti Fatma yang
membalas perlakuan para turis bule di Kahlenberg dengan traktiran dan
memberikan alamat untuk membuka perkenalan. Seperti Natalie yang percaya
restoran ikhlasnya bisa merekahkan kebahagiaan para pelanggan. Saat itu aku
yakin, orang-orang ini memahami dan mengerjakan tuntunan Islam dengan kafah.
Mereka paham bahwa dengan mengucap syahadah, melekat kewajiban sebagai manusia
yang harus terus memancarkan cahaya Islam sepanjang zaman dengan keteduhan dan
kasih sayang. (hal.95 bagian 9)
“Pada dasarnya semua orang
mendapatkan hidayah itu. Pada satu titik dalam kehidupannya, setiap manusia di
dunia ini pada dasarnya pernah berpikir tentang siapakah dirinya, mengapa dan
untuk apa dia hidup, dan adakah kekuatan di atas kekuatan hidupnya. Hanya saja
ada yang kemudian mencari dan menelisik, ada pula yang membuangnya jauh-jauh
atau melupakannya. Yang mencari pun ada yang caranya salah dan keliru. Dan
sebagainya dan sebagainya.”
“Tapi pada akhirnya, semua kembali ke
individu itu sendiri. Ketika orang sudah mempunyai pendirian, kita tidak berhak
mengusiknya. Orang yang dating kemari bukanlah mereka yang dipaksa, melainkan
mereka yang “mencari”, sementara saya hanya berusaha menunjukkan,” tutup Imam
Hashim. (hal 118-119 bagian 15)
Bagian II Paris
Belajar dari keberhasilan sekaligus
kegagalan agar manusia memiliki dua sayap pengalaman yang lengkap, untuk
membuatnya terbang lebih tinggi pada kemudian hari. (hal. 392 bagian Epilog)
Kunjungi juga situs resmi buku ini di
www.hanumrais.com
0 Komentar