6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Potret Kasus Penganiayaan Pelajar Diantara Hukum dan Kemanusiaan


Kasus dugaan penganiayaan yang menimpa Audrey, seorang pelajar SMP di pontianak sedang ramai menjadi topik pembahasan. Saya lantas tergugah untuk sedikit berbagi pengalaman saat melakukan proses pendampingan kasus serupa yang sebenarnya angka kejadiannya sangat tinggi di negara kita, dimana baik pelaku maupun korban termasuk kategori anak (umur < 18 tahun). Penyelesaian secara hukum kasus seperti  ini memiliki perbedaan dengan sistem peradilan bagi orang dewasa, sebab pelaku dan korban merupakan kategori di bawah umur. Biar bagaimanapun, Indonesia adalah negara hukum yang tetap berpayung terhadap regulasi yang berlaku.

Anak yang mengalami penganiayaan diistilahkan sebagai anak korban kekerasan. Sedangkan anak yang terlibat kasus hukum disebut anak berhadapan hukum (ABH). Setiap ABH diatur dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menjamin memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan hukum. Kasus hukum yang melibatkan anak akan ditangani kepolisian khusus Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). 

Salah satu poinnya dikatakan bahwa ketika ancaman pasal tindakan kriminalnya di bawah 7 tahun maka wajib dilakukan diversi (penyelesaian perkara di luar dari peradilan) di setiap tingkatan peradilan, dimulai 7 hari setelah penyidikan dimulai dan tidak wajib dilakukan penahanan selama ada jaminan dari orang tua.

Kasus penganiayaan termasuk pelanggaran pasal 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Diversi melibatkan korban, pelaku dan masing-masing pihak keluarga serta lembaga pemerintahan yang berwenang (biasanya DP3A, KPAI, dan pegiat sosial lainnya).

Putusan diversi pun tidak ada paksaan untuk damai, semuanya tetap dikembalikan ke pihak korban. Semua kembali lagi kepada kesepakatan semua pihak. Gagal pun adalah sebuah putusan. Bahkan bisa terus berlanjut sampai ke tahap pengadilan jika memang pihak korban menghendaki, dengan catatan tentunya semua berkas perkaranya lengkap.

Vonis dapat berupa pidana penjara sesuai aturan pasal 80 UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maupun dapat pula berupa pembinaan di Lembaga Balai Rehabilitasi Sosial Anak sesuai putusan hakim. Adapun vonis pidana penjara setengah dari vonis orang dewasa. Jadi jangan serta berpikiran vonis itu hanya berupa penjara bagi kalangan berumur anak.

ABH mendapatkan pendampingan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Yang menjadi konsen utama adalah vonis hukuman atau bahkan penyelesaian perkara harus benar-benar memperhatikan kepentingan terbaik dan hak yang melekat kepada anak seperti hak tumbuh kembang, memperoleh pendidikan serta pembinaan, dan juga masukan dari pihak-pihak terkait. Kenapa? Karena negara masih hadir disana untuk memberikan secercah harapan untuk masa depan anak sesuai amanat UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Sedangkan bagi anak korban kekerasan, wajib dilakukan pendampingan oleh Pekerja Sosial Perlindungan Anak sesuai amanat UU SPPA, bahkan jika sampai kasusnya ke pengadilan. Assesment yang dilakukan akan menentukan intervensi yang diberikan untuk anak. Namun rata-rata korban penganiayaan akan memperoleh program trauma healing dan rehabilitasi medis.
Bahkan jika diperlukan bisa dirujuk ke Balai Rehabilitasi Anak untuk proses pemulihan. Yang terpenting adalah memastikan bahwa anak tersebut tetap memperoleh haknya untuk hidup dan bertumbuh kembang, pendidikan serta jaminan keselamatan, baik fisik, mental maupun sosial. Saya telah banyak mendengar cerita traumatis anak sebagai korban. Dan benar, dukungan secara moral adalah tahapan awal pemulihan secara psikologis. 

Jadi bukan hal yang sederhana dalam penyelesaian kasus perkara yang melibatkan anak sebagai pelaku dan korban. Semoga kasusnya segera menemui titik terang. Dan lagi-lagi yang terpenting sih sebenarnya ditahapan pencegahan agar di kemudian hari tidak terulang kembali kasus kekerasan pelajar yang serupa. Pendidikan keluarga sebagai madrasah pertama anak harus menjadi perhatian kita bersama. Pendidikan akhlak di lingkungan sekolah dan pergaulan sehari-hari tidak bisa hanya menjadi prioritas kesekian.

Secara kemanusiaan, kita mengutuk bersama perilaku pelaku. Secara hukum, kita masih patut menanti kejelasan duduk perkaranya secara fair dan adil. Poin utamanya adalah segala bentuk kasus hukum yang melibatkan anak harus merujuk kepada kepentingan terbaik untuk anak. Anak adalah masa depan bangsa.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement