Beberapa hari ini, Indonesia disibukkan dengan peningkatan jumlah
kriminalitas pengendara motor yang sangat meresahkan seluruh warga. Munculnya
sebuah video yang menggegerkan tentang kasus penikaman di Makassar, pembakaran
pelaku begal motor di pondok aren, dan berbagai pemberitaan dan laporan dari
masyarakat yang menjadi korban begal motor mengundang keprihatinan. Hal ini
mengundang perhatian serius dari berbagai pihak baik dari pemerintahan maupun
masyarakat. Pihak yang paling disoroti tentu saja pihak kepolisian yang
dianggap tidak mampu menuntaskan problematika ini yang sebenarnya telah terjadi
berlarut-berlarut. Jatuhnya korban demi korban secara tidak sadar menimbulkan
intervensi ketakutan di berbagai lapisan masyarakat, meski aparat kepolisian
berdalih kalau mereka serius menangani kasus ini dan telah melakukan langkah-langkah
penanganan darurat.
Maraknya kriminalitas begal motor secara tidak langsung mencoreng status
Indonesia sebagai negara metropolitan yang berkembang pesat. Ditambah lagi
fakta bahwa pelaku begal motor nyatanya berasal dari kalangan remaja labil mulai
dari kalangan anak SD hingga SMA yang secara tidak langsung membuktikan semakin
surutnya moralitas remaja Indonesia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya semua
pihak duduk bersama guna merumuskan upaya penyelesaian efektif terkait begal
motor ini. Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul, apakah begal motor ini
adalah tren atau penyakit?
Dalam ilmu psikologi, masa remaja adalah masa dimana seseorang masih
mencari jati dirinya. Masa remaja dianggap sebagai masa yang paling rentan
sekaligus riskan terhadap doktrinisasi positif maupun negatif. Mereka praktis
hanya berpikiran bagaimana kemudian dia dapat diterima di lingkungannya.
Pertimbangan apakah perilakunya positif maupun negatif menjadi priorotas kedua.
Wacana itu pulalah yang kemudian mengemuka bahwa sebenarnya pelaku begal motor
merupakan remaja yang terjerumus dalam lingkungan yang mendesaknya untuk turut
ikut dengan kriminalitas begal motor. Dalam artian bahwa begal motor merupakan
tren semata. Mereka secara tidak langsung melakukan tindakan kriminalitas begal
motor lantaran usaha mereka untuk berbaur dengan lingkungan pergaulannya.
Dapat dipahami pula bahwasanya seorang remaja selalu ingin mendapatkan
pengakuan di lingkungannya. Pengakuan itulah yang kemudian menafsirkan bahwa
eksistensinya telah tertanam kuat di lingkungan pergaulannya. Dengan kata lain
sebagian dari pelaku begal motor hanya sekedar “ikut-ikutan”. Siapa yang mereka
ikuti? Tentu mereka yang telah dianggap sebagai petuah dan telah menggeluti
aksi kriminalitas begal motor ini. Ditambah lagi pemberitaan di media massa yang
terus menggembor-gemborkan aksi begal motor ini, yang kemudian justru membuat
beberapa remaja yang menganggap dirinya terasingkan dalam suatu komunitas
masyarakat ikut tertarik untuk bergabung dalam aksi begal motor ini. Yang
mereka pikirkan adalah bagaimana kemudian mereka dapat diterima di suatu
lingkup pergaulan dan diakui keberadaannya. Mereka yang menjadikan begal motor
ini sebagai tren sebenarnya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kalangan
inilah yang sebenarnya paling mudah untuk direhabilitasi agar tidak sampai
lebih jauh terjerembab di begal motor. Di satu sisi lainnya, kalangan inilah
yang jika tak ditanggapi secara cepat, maka lama-kelamaan akan mengakibatkan
mereka menjadi pelaku begal motor yang overaktif. Dari awalnya eksekutor
menjadi kreator.
Ketika aksi kriminalitas begal motor tak ditanggulangi segera, dan telah
bertransformasi dari tren menjadi penyakit. Hal inilah yang kemudian menjadi
ketakutan bersama. Apabila aksi begal motor telah menjangkit dan menyebarkan
virus-virus kiriminalitas di pikiran mereka, maka tak ayal penyelesaian dengan
pendekatan persuasif agaknya sulit terlaksana. Mereka akan menjadikan aksi
kriminalitas begal motor ini sebagai lahan mencari nafkah dan kebiasaan yang
menyenangkan. Peri kemanusiaan tak lagi mereka junjung hingga aksi tusuk
menusuk dengan menggunakan parang maupun busur bukan lagi hal yang ilegal bagi
mereka. Mereka akan menghalalkan berbagai cara demi memuluskan rencana mereka
dan tak segan menyakiti siapapun yang mencoba menghalanginya. Biasanya mereka
yang telah menderita penyakit kronis akan begal motor ini adalah mereka yang
sebagai otak aksi ini. Mengorganisir pola perekrutan demi menghimpun lebih
banyak massa. Polisi harus lebih cermat melihat hal ini. Efektifnya, polisi
harus tegas dalam memerangi mereka. Kalau perlu usulan untuk menembak di tempat
pelaku begal motor dapat menjadi opsi yang patut dipertimbangkan.
Pernyataan yang juga berkembang mengatakan bahwa semakin begal motor ini
ditindas, maka semakin beringas pula mereka. Hal ini disebabkan mereka merasa
terancam akan keberadaannya. Intervensi yang mengarah pada intimidasi kemudian
memunculkan aksi balas dendam yang tak pandang bulu. Dengan mengatasnamakan
solidaritas antar anggota begal motor, mereka tentu saja tak akan tinggal diam
merespon aksi aparat keamanan dan masyarakat yang bertindak main hakim sendiri
terhadap anggotanya. Tak kenal siang ataupun malam, asal kesempatan itu ada,
maka begal motor siap melakukan aksinya. Membatasi aktivitas malam pun sontak
disuarakan sang pemangku kekuasaan.
Upaya penyelesaiannya menjadi prioritas utama. Dasar adanya aksi begal
motor ini salah satunya adalah keterbelakangan ekonomi. Maka sepantasnya
pemerintah memberikan kesibukan pada remaja-remaja ini. Kesibukan yang
dimaksudkan adalah hal-hal yang dapat dilakukan oleh remaja yang kemudian dapat
menghasilkan penghasilan bagi remaja. Dengan begitu diharapkan mereka tidak
mengambil jalan pintas melalui kriminalitas begal motor. Selain itu, mekanisme
yang dilakukan pihak kepolisian dalam menanggulangi mereka-mereka yang
tertangkap nampaknya belum efektif. Mereka dijebloskan ke dalam penjara hanya
dalam kurung waktu beberapa bulan dengan alasan di bawah umur, bahkan ada yang
dilepaskan kembali karena adanya jaminan dari orang tua. Pertanyaannya
kemudian, dimana efek jeranya?
Pemerintah juga telah menekankan untuk melakukan upaya pencegahan terhadap
munculnya kader-kader baru begal motor, orang tua dan sekolah sebagai wadah
pendidikan dituntut melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perilaku remaja.
Pemberian edukasi dan pendekatan religius harus mulai dicanangkan sejak
jauh-jauh hari. Orang tua harus jeli dalam melihat pola pergaulan anaknya.
Usahakan sedini mungkin membentuk karakter anak yang bermoral dan jauh dari
sikap-sikap anarkis. Pihak sekolah pun harus mengawal muridnya, sesuai dengan
pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Sudah saatnya negara Indonesia yang tercinta ini kembali aman. Disinilah juga
sebenarnya kesempatan bagi pemerintah dan kepolisian membuktikan kinerja dan
integritasnya. Semua pihak dituntut saling bahu-membahu dalam menyelesaikan
problematika begal motor ini. Tak mudah memang, namun tak ada kata mustahil
selagi semua pihak bersatu. Dengan pola penyelesaian masalah yang terorganisir,
insha Allah kita akan mampu memberantas aksi begal motor ini sekaligus
mewujudkan Indonesia sebagai negara nyaman dunia bagi seluruh orang.
0 Komentar