Beberapa hari ini, Makassar disibukkan dengan peningkatan jumlah
kriminalitas pengendara motor yang sangat meresahkan seluruh warga. Munculnya
sebuah video yang menggegerkan tentang kasus penikaman terhadap seseorang oleh
pelaku geng motor di jalan veteran utara menuai kecaman sekaligus keprihatinan.
Masyarakat Makassar ramai-ramai menyebarkan hastag #MakassarTidakAman di
berbagai media sosial. Hal ini mengundang perhatian serius dari berbagai pihak
baik dari pemerintahan maupun masyarakat. Pihak yang paling disoroti tentu saja
pihak kepolisian yang dianggap tidak mampu menuntaskan problematika ini yang
sebenarnya telah terjadi berlarut-berlarut. Jatuhnya korban demi korban secara
tidak sadar menimbulkan intervensi ketakutan di berbagai lapisan masyarakat,
meski aparat kepolisian berdalih kalau mereka serius menangani kasus ini dan
telah melakukan langkah-langkah penanganan darurat.
Maraknya kriminalitas geng motor secara tidak langsung mencoreng status
Makassar sebagai kota metropolitan yang berkembang pesat. Ditambah lagi fakta
bahwa pelaku geng motor nyatanya berasal dari kalangan remaja labil mulai dari
kalangan anak SD hingga SMA yang secara tidak langsung membuktikan semakin
surutnya moralitas remaja Makassar. Oleh karena itu, sudah sepantasnya semua
pihak duduk bersama guna merumuskan upaya penyelesaian efektif terkait geng
motor ini. Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul, apakah geng motor ini
adalah tren atau penyakit?
Dalam ilmu psikologi, masa remaja adalah masa dimana seseorang masih
mencari jati dirinya. Masa remaja dianggap sebagai masa yang paling rentan
sekaligus riskan terhadap doktrinisasi positif maupun negatif. Mereka praktis
hanya berpikiran bagaimana kemudian dia dapat diterima di lingkungannya.
Pertimbangan apakah perilakunya positif maupun negatif menjadi priorotas kedua.
Wacana itu pulalah yang kemudian mengemuka bahwa sebenarnya pelaku geng motor
merupakan remaja yang terjerumus dalam lingkungan yang mendesaknya untuk turut
ikut dengan kriminalitas geng motor. Dalam artian bahwa geng motor merupakan
tren semata. Mereka secara tidak langsung melakukan tindakan kriminalitas geng
motor lantaran usaha mereka untuk berbaur dengan lingkungan pergaulannya.
Dapat dipahami pula bahwasanya seorang remaja selalu ingin mendapatkan
pengakuan di lingkungannya. Pengakuan itulah yang kemudian menafsirkan bahwa
eksistensinya telah tertanam kuat di lingkungan pergaulannya. Dengan kata lain
sebagian dari pelaku geng motor hanya sekedar “ikut-ikutan”. Siapa yang mereka
ikuti? Tentu mereka yang telah dianggap sebagai petuah dan telah menggeluti
aksi kriminalitas geng motor ini. Ditambah lagi pemberitaan di media massa yang
terus menggembor-gemborkan aksi geng motor ini, yang kemudian justru membuat
beberapa remaja yang menganggap dirinya terasingkan dalam suatu komunitas
masyarakat ikut tertarik untuk bergabung dalam aksi geng motor ini. Yang mereka
pikirkan adalah bagaimana kemudian mereka dapat diterima di suatu lingkup
pergaulan dan diakui keberadaannya. Mereka yang menjadikan geng motor ini
sebagai tren sebenarnya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kalangan inilah
yang sebenarnya paling mudah untuk direhabilitasi agar tidak sampai lebih jauh
terjerembab di geng motor. Di satu sisi lainnya, kalangan inilah yang jika tak
ditanggapi secara cepat, maka lama-kelamaan akan mengakibatkan mereka menjadi
pelaku geng motor yang overaktif. Dari awalnya eksekutor menjadi kreator.
Ketika aksi kriminalitas geng motor tak ditanggulangi segera, dan telah
bertransformasi dari tren menjadi penyakit. Hal inilah yang kemudian menjadi
ketakutan bersama. Apabila aksi gen motor telah menjangkit dan menyebarkan
virus-virus kiriminalitas di pikiran mereka, maka tak ayal penyelesaian dengan
pendekatan persuasif agaknya sulit terlaksana. Mereka akan menjadikan aksi
kriminalitas geng motor ini sebagai lahan mencari nafkah dan kebiasaan yang
menyenangkan. Peri kemanusiaan tak lagi mereka junjung hingga aksi tusuk
menusuk dengan menggunakan parang maupun busur bukan lagi hal yang ilegal bagi
mereka. Mereka akan menghalalkan berbagai cara demi memuluskan rencana mereka
dan tak segan menyakiti siapapun yang mencoba menghalanginya. Biasanya mereka
yang telah menderita penyakit kronis akan geng motor ini adalah mereka yang
sebagai otak aksi ini. Mengorganisir pola perekrutan demi menghimpun lebih
banyak massa. Polisi harus lebih cermat melihat hal ini. Efektifnya, polisi
harus tegas dalam memerangi mereka. Kalau perlu usulan untuk menembak di tempat
pelaku geng motor dapat menjadi opsi yang patut dipertimbangkan.
Pernyataan yang juga berkembang mengatakan bahwa semakin geng motor ini
ditindas, maka semakin beringas pula mereka. Hal ini disebabkan mereka merasa
terancam akan keberadaannya. Intervensi yang mengarah pada intimidasi kemudian
memunculkan aksi balas dendam yang tak pandang bulu. Dengan mengatasnamakan
solidaritas antar anggota geng motor, mereka tentu saja tak akan tinggal diam
merespon aksi aparat keamanan dan masyarakat yang bertindak main hakim sendiri
terhadap anggotanya. Tak kenal siang ataupun malam, asal kesempatan itu ada,
maka geng motor siap melakukan aksinya. Membatasi aktivitas malam pun sontak
disuarakan sang pemangku kekuasaan.
Upaya penyelesaiannya menjadi prioritas utama. Dasar adanya aksi geng motor
ini salah satunya adalah keterbelakangan ekonomi. Maka sepantasnya pemerintah
memberikan kesibukan pada remaja-remaja ini. Kesibukan yang dimaksudkan adalah hal-hal
yang dapat dilakukan oleh remaja yang kemudian dapat menghasilkan penghasilan
bagi remaja. Dengan begitu diharapkan mereka tidak mengambil jalan pintas melalui
kriminalitas geng motor. Selain itu, mekanisme yang dilakukan pihak kepolisian
dalam menanggulangi mereka-mereka yang tertangkap nampaknya belum efektif.
Mereka dijebloskan ke dalam penjara hanya dalam kurung waktu beberapa bulan
dengan alasan di bawah umur, bahkan ada yang dilepaskan kembali karena adanya
jaminan dari orang tua. Pertanyaannya kemudian, dimana efek jeranya?
Pemerintah juga telah menekankan untuk melakukan upaya pencegahan terhadap
munculnya kader-kader baru geng motor, orang tua dan sekolah sebagai wadah
pendidikan dituntut melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perilaku remaja.
Pemberian edukasi dan pendekatan religius harus mulai dicanangkan sejak
jauh-jauh hari. Orang tua harus jeli dalam melihat pola pergaulan anaknya.
Usahakan sedini mungkin membentuk karakter anak yang bermoral dan jauh dari
sikap-sikap anarkis. Pihak sekolah pun harus mengawal muridnya, sesuai dengan
pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Sudah saatnya kota Makassar yang tercinta ini kembali aman. Disinilah juga sebenarnya
kesempatan bagi pemerintah Makassar membuktikan kinerja dan integritasnya.
Semua pihak dituntut saling bahu-membahu dalam menyelesaikan problematika geng
motor ini. Tak mudah memang, namun tak ada kata mustahil selagi semua pihak
bersatu. Dengan pola penyelesaian masalah yang terorganisir, insha Allah kita
akan mampu memberantas aksi geng motor ini sekaligus mewujudkan Makassar
sebagai kota nyaman dunia.
0 Komentar