6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Geng Motor, Tren atau Penyakit ?



Beberapa hari ini, Makassar disibukkan dengan peningkatan jumlah kriminalitas pengendara motor yang sangat meresahkan seluruh warga. Munculnya sebuah video yang menggegerkan tentang kasus penikaman terhadap seseorang oleh pelaku geng motor di jalan veteran utara menuai kecaman sekaligus keprihatinan. Masyarakat Makassar ramai-ramai menyebarkan hastag #MakassarTidakAman di berbagai media sosial. Hal ini mengundang perhatian serius dari berbagai pihak baik dari pemerintahan maupun masyarakat. Pihak yang paling disoroti tentu saja pihak kepolisian yang dianggap tidak mampu menuntaskan problematika ini yang sebenarnya telah terjadi berlarut-berlarut. Jatuhnya korban demi korban secara tidak sadar menimbulkan intervensi ketakutan di berbagai lapisan masyarakat, meski aparat kepolisian berdalih kalau mereka serius menangani kasus ini dan telah melakukan langkah-langkah penanganan darurat.
Maraknya kriminalitas geng motor secara tidak langsung mencoreng status Makassar sebagai kota metropolitan yang berkembang pesat. Ditambah lagi fakta bahwa pelaku geng motor nyatanya berasal dari kalangan remaja labil mulai dari kalangan anak SD hingga SMA yang secara tidak langsung membuktikan semakin surutnya moralitas remaja Makassar. Oleh karena itu, sudah sepantasnya semua pihak duduk bersama guna merumuskan upaya penyelesaian efektif terkait geng motor ini. Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul, apakah geng motor ini adalah tren atau penyakit?
Dalam ilmu psikologi, masa remaja adalah masa dimana seseorang masih mencari jati dirinya. Masa remaja dianggap sebagai masa yang paling rentan sekaligus riskan terhadap doktrinisasi positif maupun negatif. Mereka praktis hanya berpikiran bagaimana kemudian dia dapat diterima di lingkungannya. Pertimbangan apakah perilakunya positif maupun negatif menjadi priorotas kedua. Wacana itu pulalah yang kemudian mengemuka bahwa sebenarnya pelaku geng motor merupakan remaja yang terjerumus dalam lingkungan yang mendesaknya untuk turut ikut dengan kriminalitas geng motor. Dalam artian bahwa geng motor merupakan tren semata. Mereka secara tidak langsung melakukan tindakan kriminalitas geng motor lantaran usaha mereka untuk berbaur dengan lingkungan pergaulannya.
Dapat dipahami pula bahwasanya seorang remaja selalu ingin mendapatkan pengakuan di lingkungannya. Pengakuan itulah yang kemudian menafsirkan bahwa eksistensinya telah tertanam kuat di lingkungan pergaulannya. Dengan kata lain sebagian dari pelaku geng motor hanya sekedar “ikut-ikutan”. Siapa yang mereka ikuti? Tentu mereka yang telah dianggap sebagai petuah dan telah menggeluti aksi kriminalitas geng motor ini. Ditambah lagi pemberitaan di media massa yang terus menggembor-gemborkan aksi geng motor ini, yang kemudian justru membuat beberapa remaja yang menganggap dirinya terasingkan dalam suatu komunitas masyarakat ikut tertarik untuk bergabung dalam aksi geng motor ini. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana kemudian mereka dapat diterima di suatu lingkup pergaulan dan diakui keberadaannya. Mereka yang menjadikan geng motor ini sebagai tren sebenarnya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kalangan inilah yang sebenarnya paling mudah untuk direhabilitasi agar tidak sampai lebih jauh terjerembab di geng motor. Di satu sisi lainnya, kalangan inilah yang jika tak ditanggapi secara cepat, maka lama-kelamaan akan mengakibatkan mereka menjadi pelaku geng motor yang overaktif. Dari awalnya eksekutor menjadi kreator.
Ketika aksi kriminalitas geng motor tak ditanggulangi segera, dan telah bertransformasi dari tren menjadi penyakit. Hal inilah yang kemudian menjadi ketakutan bersama. Apabila aksi gen motor telah menjangkit dan menyebarkan virus-virus kiriminalitas di pikiran mereka, maka tak ayal penyelesaian dengan pendekatan persuasif agaknya sulit terlaksana. Mereka akan menjadikan aksi kriminalitas geng motor ini sebagai lahan mencari nafkah dan kebiasaan yang menyenangkan. Peri kemanusiaan tak lagi mereka junjung hingga aksi tusuk menusuk dengan menggunakan parang maupun busur bukan lagi hal yang ilegal bagi mereka. Mereka akan menghalalkan berbagai cara demi memuluskan rencana mereka dan tak segan menyakiti siapapun yang mencoba menghalanginya. Biasanya mereka yang telah menderita penyakit kronis akan geng motor ini adalah mereka yang sebagai otak aksi ini. Mengorganisir pola perekrutan demi menghimpun lebih banyak massa. Polisi harus lebih cermat melihat hal ini. Efektifnya, polisi harus tegas dalam memerangi mereka. Kalau perlu usulan untuk menembak di tempat pelaku geng motor dapat menjadi opsi yang patut dipertimbangkan.
Pernyataan yang juga berkembang mengatakan bahwa semakin geng motor ini ditindas, maka semakin beringas pula mereka. Hal ini disebabkan mereka merasa terancam akan keberadaannya. Intervensi yang mengarah pada intimidasi kemudian memunculkan aksi balas dendam yang tak pandang bulu. Dengan mengatasnamakan solidaritas antar anggota geng motor, mereka tentu saja tak akan tinggal diam merespon aksi aparat keamanan dan masyarakat yang bertindak main hakim sendiri terhadap anggotanya. Tak kenal siang ataupun malam, asal kesempatan itu ada, maka geng motor siap melakukan aksinya. Membatasi aktivitas malam pun sontak disuarakan sang pemangku kekuasaan.
Upaya penyelesaiannya menjadi prioritas utama. Dasar adanya aksi geng motor ini salah satunya adalah keterbelakangan ekonomi. Maka sepantasnya pemerintah memberikan kesibukan pada remaja-remaja ini. Kesibukan yang dimaksudkan adalah hal-hal yang dapat dilakukan oleh remaja yang kemudian dapat menghasilkan penghasilan bagi remaja. Dengan begitu diharapkan mereka tidak mengambil jalan pintas melalui kriminalitas geng motor. Selain itu, mekanisme yang dilakukan pihak kepolisian dalam menanggulangi mereka-mereka yang tertangkap nampaknya belum efektif. Mereka dijebloskan ke dalam penjara hanya dalam kurung waktu beberapa bulan dengan alasan di bawah umur, bahkan ada yang dilepaskan kembali karena adanya jaminan dari orang tua. Pertanyaannya kemudian, dimana efek jeranya?
Pemerintah juga telah menekankan untuk melakukan upaya pencegahan terhadap munculnya kader-kader baru geng motor, orang tua dan sekolah sebagai wadah pendidikan dituntut melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perilaku remaja. Pemberian edukasi dan pendekatan religius harus mulai dicanangkan sejak jauh-jauh hari. Orang tua harus jeli dalam melihat pola pergaulan anaknya. Usahakan sedini mungkin membentuk karakter anak yang bermoral dan jauh dari sikap-sikap anarkis. Pihak sekolah pun harus mengawal muridnya, sesuai dengan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Sudah saatnya kota Makassar yang tercinta ini kembali aman. Disinilah juga sebenarnya kesempatan bagi pemerintah Makassar membuktikan kinerja dan integritasnya. Semua pihak dituntut saling bahu-membahu dalam menyelesaikan problematika geng motor ini. Tak mudah memang, namun tak ada kata mustahil selagi semua pihak bersatu. Dengan pola penyelesaian masalah yang terorganisir, insha Allah kita akan mampu memberantas aksi geng motor ini sekaligus mewujudkan Makassar sebagai kota nyaman dunia.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement