6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Bahaya Asap Rokok

Indonesia dan rokok. Sebuah kisah panjang yang terus melekat dan seolah telah menjadi identitas untuk menggambarkan bangsa kita. Bagaimana tidak, Indonesia saat ini dicap sebagai negara yang sangat ramah terhadap industri rokok dan para perokoknya. Hampir di setiap penjuru tanah air, sepanjang mata memandang, kita akan dengan mudah menemukan orang-orang yang beramai-ramai menyebarkan racun melalui asap rokok mereka. Bukan hanya menjangkiti kalangan orang dewasa maupun remaja, bahkan hingga anak-anak dan balita. Data Kementerian kesehatan menujukkan bahwa prevalensi remaja usia 16-19 tahun yang merokok meningkat 3 kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi 20,5% pada tahun 2014. Semakin memprihatinkan jika kita menilik usia mulai merokok yang semakin muda. Perokok pemula usia 10-14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam kurung waktu kurang dari 20 tahun, yaitu dari 8,9% di tahun 1995 menjadi 18% di tahun 2013.
Fakta juga menyatakan bahwa 43 juta anak-anak Indonesia mengalami keterpaparan dengan asap rokok (secondhand smoke), diantaranya 11,4 juta anak usia 0-4 tahun. Rangkaian data-data mencengangkan tersebut adalah bukti kongkrit bahwa bangsa kita semakin terjajah oleh rokok. Anak-anak Indonesia dianggap sebagai komoditas menjanjikan industri rokok untuk terus memperkaya jumlah konsumen rokok di Indonesia. Mereka menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai perokok pemula yang nantinya akan menggantikan para perokok-perokok yang terpaksa harus merasakan perihnya dampak rokok di usia senja.
Padahal kita mengetahui bersama bahwa anak-anak Indonesia merupakan generasi muda calon pelanjut estafet pemerintahan. Kita tentunya mendambakan para generasi pelanjut yang berkualitas, produktif, dan berdaya saing, apalagi di era pasar bebas saat ini. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton di rumah sendiri. Hal ini pula yang tersirat dalam Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang berkomitmen dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Untuk merealisasikan komitmen tersebut, perlindungan terhadap generasi muda akan keterpaparan dengan merokok harus menjadi perhatian kita bersama. Anggapan yang mengatakan bahwa orang yang merokok itu keren, atau orang yang merokok lebih mudah bergaul, atau bahkan yang mengatakan dengan merokok dapat lebih berkonsentrasi hanyalah sebagai stigma subyektif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Justru hal itu adalah dampak buruk dari kecanduan kronis yang berasal dari zat adiktif yang terdapat pada rokok. Dari aspek sosial ekonomi, kecanduan terhadap rokok di kalangan anak-anak memicu meningkatnya angka kriminalitas pencurian. Bahkan dari Data Survei Ekonomi dan Kesehatan Nasional (Susenas) diperoleh fakta yang mencengankan bahwa konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau di Indonesia menduduki rangking kedua (12,43%) setelah konsumsi beras (19,30%). Mereka bahkan mengeluarkan uangnya untuk rokok enam kali lebih penting dari pendidikan dan kesehatan.
Perilaku merokok yang semakin menjadi fenomena di kalangan anak-anak harus mendapatkan respon serius dari pemerintah. Upaya perlindungan dini terhadap anak-anak Indonesia dari bahaya rokok saat ini masih dianggap sangat lemah. Bahkan Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi konvensi pengendalian tembakau. Untuk mencegah munculnya perilaku merokok di kalangan generasi muda, ada dua faktor utama yang dapat menjadi konsen kita yaitu ditinjau dari aspek perilaku dan lingkungan.
1.      Perilaku Sehat
Menurut Becker, konsep perilaku sehat merupakan pengembangan dari konsep perilaku yang dikembangkan Bloom. Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi 3 domain, yakni pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap kesehatan (health attitude), dan praktik kesehatan (health practice).
Pengetahuan tentang kesehatan mencakup mengenai apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. Sikap terhadap kesehatan merupakan sikap yang sehat dimulai dari diri sendiri, dengan memperhatikan kebutuhan kesehatan dalam tubuh dibanding keinginan. Sedangkan praktik kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan.
Ketiga domain inilah yang harus diselaraskan dalam mewujudkan perilaku tidak merokok. Harus ada pengetahuan mendasar yang diberikan kepada anak-anak bahwa merokok bukanlah perilaku yang sehat dan dapat membahayakan kesehatan. Setelah pengetahuan awal itu telah terpatri di benak mereka, maka dengan sendirinya sikap untuk tidak merokok akan terimplementasi dalam kehidupan sehari-harinya karena adanya kesadaran bahwa kesehatan diri sendiri sangat penting ketimbang dorongan keinginan untuk merokok. Jika hal itu telah melekat, maka respon anak tersebut untuk menerapkan perilaku hidup sehat akan jauh lebih kompleks lagi karena meliputi aktivitas penunjang dalam rangka memelihara kesehatan mereka seperti olahraga rutin. Maka proses pembangunan stigma positif untuk tidak merokok akan terbentuk secara kokoh sedari dini dan tetap akan terus dilanjutkan seiring melekatnya keinginan untuk tetap berperilaku sehat. Oleh karenanya kesehatan akan dipandang sebagai sebuah kebutuhan.
2.      Lingkungan
Lingkungan yang baik akan membentuk perilaku yang baik pula, sedangkan lingkungan yang buruk akan membentuk perilaku yang buruk pula. Ungkapan ini pastinya senantiasa kita dengar sebagai bentuk interaksi sebab akibat di kalangan masyarakat. Bagi anak-anak, lingkungan semakin vital perannya lantaran sejak lahir mereka sebenarnya sudah berada di lingkungan yang baru dan nantinya akan memberikan dampak signifikan secara sosio-psikologis anak. Proses interaksi yang dilakukan seorang anak di lingkungannya mewajibkan mereka untuk dapat beradaptasi secara baik agar eksistensi mereka tetap dipertahankan. Hal ini pula yang banyak melatarbelakangi alasan seorang anak terjerumus untuk mencoba merokok. Banyak diantara mereka mengatakan bahwa teman sepergaulan mereka adalah perokok dan dia bakalan dianggap berbeda bahkan di-bully jika tidak turut merokok. Intervensi psikologis inilah yang akhirnya terbawah hingga beranjak menjadi perokok aktif.
Oleh karenanya, sebelum membiarkan seorang anak terjerumus lebih jauh dalam dunia pergaulannya, maka pendidikan dan pembinaan di lingkungan keluarga patutnya menjadi perhatian orang tua. Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan membentuk kepribadian seorang anak. Mereka yang mendapatkan pendidikan baik intelektual maupun religius secara konsisten di lingkungan keluarganya akan tumbuh menjadi pribadi yang memegang teguh norma-norma kemasyarakatan. Maka disinilah peluang besar bagi orang tua dalam memberikan pengajaran awal untuk tidak berperilaku merokok. Dengan ditunjang pemberian contoh perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan rumah tangga dengan turut tidak merokok, seorang anak akan menjadikan hal tersebut sebagai patron awal dalam berperilaku. Proses pengawasan pun tetap harus dilakukan sebagai upaya controlling dan monitoring.
Di luar dari dua faktor utama tersebut, secara kompleks kita juga harus melihat seberapa besar komitmen pemerintah dalam melindungi anak-anak untuk menjadi perokok pemula melalui bentuk regulasi yang dikeluarkan. Kenyataannya, berbagai kalangan menganggap bahwa regulasi mengenai pengendalian produk tembakau di Indonesia masih lemah. Wajar saja jika bangsa kita masih disematkan julukan surga bagi industri rokok dan para perokok, bahkan julukan teranyar baby smoker merujuk pada fenomena seorang balita yang telah menjadi perokok aktif sejak kecil. Ketidakberadaan regulasi yang ketat mengenai pengendalian terhadap produk tembakau akhirnya terus mendorong peningkatan jumlah perokok yang saat ini sudah menyentuh 146.860.000 jiwa.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam mengendalikan rokok di Indonesia diantaranya pelarangan penjualan rokok kepada anak di bawah umur, pelarangan iklan rokok baik di media cetak maupun elektronik, menaikkan harga rokok agar tidak dapat dijangkau oleh anak-anak, pelarangan sponsorship kegiatan dari perusahaan rokok, adalah beberapa solusi kongkrit dalam mengendalikan produk tembakau. Hal itu harus diambil sebagai langkah tegas pemerintah demi semata-mata melindungi generasi muda kita dari risiko menjadi seorang perokok. Selain itu penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sesuai amanah PP No.109 Tahun 2012 tentunya harus terus digalakkan. Faktanya, saat ini di tempat-tempat umum yang mestinya tidak boleh ada asap rokok seperti di bandara, terminal, angkutan umum, sekolah, rumah sakit, maupun instansi-instansi, masih ditemui orang-orang yang bebas merokok. Untuk menunjang efektifitas KTR ini, maka pemberian sanksi yang tegas dapat menjadi pilihan yang bijak bagi pemerintah.
Melihat betapa besar tantangan ke depannya dalam melindungi generasi muda dari asap rokok, maka dibutuhkan kerjasama dari seluruh pihak. Sudah saatnya persoalan rokok ini bukan hanya menjadi topik pembicaraan semata tanpa ada solusi tindak lanjut. Bonus demografi tahun 2020 sudah menanti. Jangan sampai kita menyambut peluang tersebut dengan kualitas generasi muda yang sakit-sakitan. Kita tentunya mengharapkan generasi muda yang berjiwa kompetitif dan sehat secara fisik dan mental. Bangsa ini sudah begitu lama terpuruk dengan berbagai problematika tanpa berkesudahan. Kita butuh generasi-generasi pelanjut yang solutif dan kreatif. Oleh karenanya, mari bersama menyatukan langkah dalam mewujudkan generasi muda yang bebas dari asap rokok.

Kesehatan memang bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan segalanya tidak akan berarti apa-apa. Salam Indonesia Sehat J

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement