6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Saat ini, sektor usaha informal terus bermunculan dengan berbagai inovasinya. Wajar lantaran sektor informal yang bersandar pada sumber daya lokal memberikan kesempatan besar dalam menyerap banyak sumber daya manusia. Namun dalam praktiknya, usaha di sektor informal memiliki risiko yang tinggi terhadap kesehatan pekerjanya. Hal ini karena kesadaran pemilik usaha informal untuk menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja belum sebaik dengan usaha formal, bahkan cenderung terabaikan.
Melihat realitas yang terjadi, maka tuntutan dalam penerapan budaya K3 di usaha informal perlu diperhatikan. Budaya K3 adalah sebuah hasil dari nilai-nilai, persepsi, perhatian, kompetensi dan pola-pola perilaku individu dan grup yang menunjukkan komitmen, cara, dan kemampuan dari sebuah manajemen kesehatan dan keselamatan kerja dari sebuah organisasi (DuPont).
Tingkatan Budaya K3 dibagi dalam 4 tahap yaitu reaktif, dependen, independen, serta interdependen. Reaktif artinya perusahaan ini menangani isu K3 hanya bermodalkan “insting alam” saja. Mereka hanya berfokus kepada kepatuhan (compliance) daripada budaya K3 yang kuat. Dependen, dapat kita lihat ketika sudah ada komitmen manajemen dari perusahaan, supervisor umumnya akan bertanggung jawab untuk menetapkan tujuan dan mengawasi penerapan K3 terhadap masing-masing dari bawahannya. Adapun tahap independen, sudah menekankan pengetahuan individu terkait dengan isu K3, metode K3, komitmen K3 serta standar K3. Sedangkan interdependen artinya muncul keterlibatan aktif dalam membantu orang lain untuk melaksanakan K3, atau dengan kata lain Others Keeping.
Untuk mendorong terciptanya budaya tersebut, maka perlu dibentuk para pekerja yang berdaya. Pekerja yang berdaya dibentuk dari upaya pemberdayaan yang sistematis, yang nantinya bertujuan mengembangkan partisipasi para pekerja meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan agar mampu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraannya ( M. Nadhir, 2009).
Peningkatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan pekerja dapat dilakukan dengan model pemberdayaan sebagai berikut :
1.    Pendampingan secara langsung, yaitu fasilitator tinggal di lokasi kelompok atau masyarakat yang akan dikembangkan. Pendampingan ini penting untuk melihat persepsi awal pekerja tentang penerapan K3 saat bekerja. Dalam proses pendampingan ini, kita juga mengidentifikasi strengths, weaknesses, opportunities, dan threats yang dimiliki pekerja. Hal ini penting untuk proses assesment yang nantinya akan merujuk kepada penyusunan planning, organizing, serta actuating. Proses pendampingan secara langsung nantinya harus menjamin peningkatan sikap, pengetahuan, dan tindakan safety dari pekerja. Model ini diterapkan pada tahap animasi, karena pekerja memerlukan banyak bimbingan, konsultasi, dan informasi agar terintis budaya K3.
2.      Pendampingan secara berkala, yaitu fasilitator datang ke kelompok atau masyarakat pada waktu-waktu tertentu yang telah disepakati dan tinggal beberapa waktu bersama pekerja. Proses pendampingan ini merupakan tahap lanjutan dari pendampingan secara langsung. Dalam tahap ini sifatnya lebih mengarah kepada proses monitoring dan evaluasi dengan melihat apakah penerapan budaya K3 dalam lingkungan kerja diterapkan secara konsisten atau tidak. Proses evaluasi penting mengingat untuk membangun sebuah budaya yang turun-temurun membutuhkan waktu yang lama sehingga penyesuaian program harus terus diperhatikan dengan mempertimbangkan dinamika perubahan yang terjadi selama proses pendampingan.
Model pemberdayaan tersebut harus berjalan beriringan dengan strategi pemberdayaan yang sesuai. Strategi menjadi penting adanya agar dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai secara efektif dan efisien. Adapun pemberdayaan tersebut dapat kita lakukan dengan menyusun strategi sebagai berikut :
1.   Aras Mikro, pemberdayaan pada aras ini dilakukan terhadap klien secara individu yang mana melalui bimbingan, konseling, stress management, dan crisis intervention. Bimbingan dan konseling adalah bentuk kegiatan dalam membangun paradigma awal bahwa penerapan budaya K3 sangat penting dalam lingkungan kerja. Sasaran dari kegiatan ini adalah pekerja dan juga stakeholder yang terlibat dalam lingkungan kerja tersebut. Sedangkan stress management dan crisis intervention bertujuan untuk menciptakan psikososial yang harmonis dalam lingkungan kerja. Tentunya ini menjadi tanggungjawab bersama seluruh pihak yang ada di lingkungan kerja tersebut.
2.  Aras Mezzo, pemberdayaan pada aras ini dilakukan terhadap sekelompok klien yang mana menggunakan kelompok sebagai media intervensi, pendidikan, pelatihan, pengetahuan, dan keterampilan merupakan strategi dalam meningkatkan kesadaran dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Artinya, kita harus mampu mengidentifikasi kelompok yang berpengaruh dalam lingkungan kerja dan menjadikan kelompok tersebut sebagai roda penggerak dalam menerapkan budaya K3. Kelompok yang berpengaruh, berpotensi akan lebih didengarkan oleh kelompok lain sehingga proses penyampaian informasi dapat dilakukan secara optimal.
3.  Aras Makro, aras ini disebut juga sebagai strategi sistem besar karena perubahannya lebih terhadap lingkungan yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, kampanye, aksi sosial, dan pengorganisasian masyarakat. Aras ini juga memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan juga untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Artinya, untuk menerapkan budaya K3 secara berkesinambungan di lingkungan kerja, perlu dilakukan pengorganisasian secara menyeluruh. Kita harus melibatkan para stakeholder dan seluruh perangkat pendukungnya untuk turut menyadari pentingnya membangun K3 di lingkungan kerjanya. Sehingga nantinya, akan muncul sebuah kebijakan yang mengikat. Kebijakan yang tepat secara otomatis juga akan membentuk sebuah sistem yang mendukung penerapan budaya K3 di lingkungan kerja. Pimpinan menjadi sasaran utama dalam melakukan upaya persuasif.
(Edi Suharto, 2006)
Nantinya, indikator keberhasilan dari pemberdayaan tersebut dapat kita lihat melalui pendekatan Dominic Cooper dengan melihat 3 aspek yaitu aspek psikologis, aspek perilaku pekerja, dan aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3.
Alhasil, dengan outcome terwujudnya masyarakat berdaya melalui serangkaian pendekatan pemberdayaan, diharapkan memunculkan keterlibatan para pekerja secara pro aktif untuk bersama-sama berperan dalam mengampanyekan penerapan budaya K3 di semua lingkungan kerja demi Indonesia yang produktif dan kompetitif.


DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Dedi., Ratna Muliawati. 2013. Pilar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta : Nuha Medika.

Fahrudin, Adi. Pemberdayaan, Partisipasi, dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora.

Generousdi, dkk. 2004. Peranan “Ahli K3” dalam mendorong efektifitas pengawasan K3 sangat penting dan strategis. Jurnal Teknik Mesin (Online) http://ojs.polinpdg.ac.id/index.php/JTM/article/viewFile/340/340, Diakses 28 Februari 2016, Volume 1, Nomor 2, Desember 2004.

Hari Witono, dkk. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Modul Para Aktivis Masyarakat. Sidoardjo: Paramulia Press.

Januar Atiqoh, dkk. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Konveksi Bagian Penjahitan di CV. Aneka Garment Gunungpati Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Undip (Online) http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/download/6386/6164, Diakses 28 Februari 2016, Volume 2, Nomor 2, Februari 2014.

Katigaku.com. 2015. Kunci Meningkatkan Budaya K3: Keterlibatan Aktif Seluruh Pekerja. http://katigaku.com/2015/02/19/kunci-meningkatkan-budaya-k3-keterlibatan-aktif-seluruh-pekerja/, Diakses 28 Februari 2016.

M. Nadhir. 2009. Memberdayakan Orang Miskin Melalui Kelompok Swadaya Masyarakat. Sidoardjo: Yapsem.

Maria Ulfa Dewi Andreani, Indriati Paskarini. 2013. Sikap Kerja yang Berhubungan dengan Keluhan Subjektif pada Penjahit di Jalan Patua Surabaya. Jurnal Promkes FKM Universitas Airlangga (Online) http://Journal.Unair.Ac.Id/Download-Fullpapers-Jupromkesa35197c880full.Pdf, Diakses 28 Februari 2016, Volume 1 Nomor 2, Desember 2013.


Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement