Saat ini, sektor usaha informal terus bermunculan dengan berbagai
inovasinya. Wajar lantaran sektor informal yang bersandar pada sumber daya
lokal memberikan kesempatan besar dalam menyerap banyak sumber daya manusia.
Namun dalam praktiknya, usaha di sektor informal memiliki risiko yang tinggi terhadap
kesehatan pekerjanya. Hal ini karena kesadaran pemilik usaha informal untuk
menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja belum sebaik dengan usaha formal,
bahkan cenderung terabaikan.
Melihat realitas yang terjadi, maka tuntutan dalam penerapan budaya K3 di
usaha informal perlu diperhatikan. Budaya K3 adalah sebuah hasil dari
nilai-nilai, persepsi, perhatian, kompetensi dan pola-pola perilaku individu
dan grup yang menunjukkan komitmen, cara, dan kemampuan dari sebuah manajemen
kesehatan dan keselamatan kerja dari sebuah organisasi (DuPont).
Tingkatan Budaya K3 dibagi dalam 4 tahap yaitu reaktif, dependen,
independen, serta interdependen. Reaktif artinya perusahaan ini menangani isu
K3 hanya bermodalkan “insting alam” saja. Mereka hanya berfokus kepada
kepatuhan (compliance) daripada budaya K3 yang kuat. Dependen, dapat kita lihat
ketika sudah ada komitmen manajemen dari perusahaan, supervisor umumnya akan
bertanggung jawab untuk menetapkan tujuan dan mengawasi penerapan K3 terhadap
masing-masing dari bawahannya. Adapun tahap independen, sudah menekankan
pengetahuan individu terkait dengan isu K3, metode K3, komitmen K3 serta
standar K3. Sedangkan interdependen artinya muncul keterlibatan aktif dalam
membantu orang lain untuk melaksanakan K3, atau dengan kata lain Others Keeping.
Untuk mendorong terciptanya budaya tersebut, maka perlu dibentuk para
pekerja yang berdaya. Pekerja yang berdaya dibentuk dari upaya pemberdayaan yang
sistematis, yang nantinya bertujuan mengembangkan partisipasi para pekerja
meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan agar mampu meningkatkan
kemandirian dan kesejahteraannya ( M. Nadhir, 2009).
Peningkatan sikap, pengetahuan,
dan keterampilan pekerja dapat dilakukan dengan model pemberdayaan sebagai
berikut :
1. Pendampingan secara langsung, yaitu fasilitator tinggal
di lokasi kelompok atau masyarakat yang akan dikembangkan. Pendampingan ini
penting untuk melihat persepsi awal pekerja tentang penerapan K3 saat bekerja. Dalam
proses pendampingan ini, kita juga mengidentifikasi strengths, weaknesses, opportunities, dan threats yang dimiliki pekerja. Hal ini penting untuk proses assesment yang nantinya akan merujuk
kepada penyusunan planning, organizing, serta actuating. Proses pendampingan secara langsung nantinya harus
menjamin peningkatan sikap, pengetahuan, dan tindakan safety dari pekerja. Model ini diterapkan pada tahap animasi,
karena pekerja memerlukan banyak bimbingan, konsultasi, dan informasi agar
terintis budaya K3.
2.
Pendampingan secara berkala, yaitu fasilitator datang ke
kelompok atau masyarakat pada waktu-waktu tertentu yang telah disepakati dan
tinggal beberapa waktu bersama pekerja. Proses pendampingan ini merupakan tahap
lanjutan dari pendampingan secara langsung. Dalam tahap ini sifatnya lebih
mengarah kepada proses monitoring dan
evaluasi dengan melihat apakah penerapan budaya K3 dalam lingkungan kerja
diterapkan secara konsisten atau tidak. Proses evaluasi penting mengingat untuk
membangun sebuah budaya yang turun-temurun membutuhkan waktu yang lama sehingga
penyesuaian program harus terus diperhatikan dengan mempertimbangkan dinamika
perubahan yang terjadi selama proses pendampingan.
Model pemberdayaan tersebut harus berjalan beriringan dengan strategi pemberdayaan
yang sesuai. Strategi menjadi penting adanya agar dapat mencapai tujuan yang
hendak dicapai secara efektif dan efisien. Adapun pemberdayaan tersebut dapat
kita lakukan dengan menyusun strategi sebagai berikut :
1. Aras Mikro, pemberdayaan pada aras ini dilakukan terhadap
klien secara individu yang mana melalui bimbingan, konseling, stress management, dan crisis intervention. Bimbingan dan
konseling adalah bentuk kegiatan dalam membangun paradigma awal bahwa penerapan
budaya K3 sangat penting dalam lingkungan kerja. Sasaran dari kegiatan ini
adalah pekerja dan juga stakeholder
yang terlibat dalam lingkungan kerja tersebut. Sedangkan stress management dan crisis
intervention bertujuan untuk menciptakan psikososial yang harmonis dalam
lingkungan kerja. Tentunya ini menjadi tanggungjawab bersama seluruh pihak yang
ada di lingkungan kerja tersebut.
2. Aras Mezzo, pemberdayaan pada aras ini dilakukan terhadap
sekelompok klien yang mana menggunakan kelompok sebagai media intervensi,
pendidikan, pelatihan, pengetahuan, dan keterampilan merupakan strategi dalam
meningkatkan kesadaran dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Artinya,
kita harus mampu mengidentifikasi kelompok yang berpengaruh dalam lingkungan
kerja dan menjadikan kelompok tersebut sebagai roda penggerak dalam menerapkan
budaya K3. Kelompok yang berpengaruh, berpotensi akan lebih didengarkan oleh
kelompok lain sehingga proses penyampaian informasi dapat dilakukan secara
optimal.
3. Aras Makro, aras ini disebut juga sebagai strategi sistem
besar karena perubahannya lebih terhadap lingkungan yang lebih luas seperti
perumusan kebijakan, kampanye, aksi sosial, dan pengorganisasian masyarakat.
Aras ini juga memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk
memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan juga untuk memilih serta
menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Artinya, untuk menerapkan budaya
K3 secara berkesinambungan di lingkungan kerja, perlu dilakukan pengorganisasian
secara menyeluruh. Kita harus melibatkan para stakeholder dan seluruh perangkat pendukungnya untuk turut menyadari
pentingnya membangun K3 di lingkungan kerjanya. Sehingga nantinya, akan muncul
sebuah kebijakan yang mengikat. Kebijakan yang tepat secara otomatis juga akan
membentuk sebuah sistem yang mendukung penerapan budaya K3 di lingkungan kerja.
Pimpinan menjadi sasaran utama dalam melakukan upaya persuasif.
(Edi
Suharto, 2006)
Nantinya, indikator
keberhasilan dari pemberdayaan tersebut dapat kita lihat melalui pendekatan
Dominic Cooper dengan melihat 3 aspek yaitu aspek psikologis, aspek perilaku
pekerja, dan aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3.
Alhasil, dengan outcome terwujudnya masyarakat berdaya
melalui serangkaian pendekatan pemberdayaan, diharapkan memunculkan
keterlibatan para pekerja secara pro aktif untuk bersama-sama berperan dalam mengampanyekan
penerapan budaya K3 di semua lingkungan kerja demi Indonesia yang produktif dan
kompetitif.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Dedi., Ratna Muliawati. 2013. Pilar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Fahrudin,
Adi. Pemberdayaan,
Partisipasi, dan Penguatan Kapasitas
Masyarakat. Bandung:
Humaniora.
Generousdi, dkk. 2004. Peranan “Ahli K3” dalam mendorong efektifitas pengawasan K3 sangat
penting dan strategis. Jurnal Teknik Mesin (Online) http://ojs.polinpdg.ac.id/index.php/JTM/article/viewFile/340/340,
Diakses 28 Februari 2016, Volume 1, Nomor 2, Desember 2004.
Hari
Witono, dkk. 2006.
Pemberdayaan
Masyarakat Modul Para Aktivis Masyarakat. Sidoardjo: Paramulia Press.
Januar Atiqoh, dkk. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Konveksi Bagian Penjahitan di CV. Aneka
Garment Gunungpati Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Undip (Online) http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/download/6386/6164, Diakses 28 Februari 2016, Volume 2, Nomor 2,
Februari 2014.
Katigaku.com. 2015. Kunci Meningkatkan Budaya K3: Keterlibatan Aktif Seluruh Pekerja. http://katigaku.com/2015/02/19/kunci-meningkatkan-budaya-k3-keterlibatan-aktif-seluruh-pekerja/, Diakses 28 Februari 2016.
M.
Nadhir. 2009. Memberdayakan Orang Miskin Melalui Kelompok Swadaya Masyarakat. Sidoardjo: Yapsem.
Maria Ulfa Dewi Andreani, Indriati Paskarini. 2013. Sikap Kerja
yang Berhubungan dengan
Keluhan Subjektif pada
Penjahit di Jalan Patua Surabaya. Jurnal Promkes FKM Universitas Airlangga (Online) http://Journal.Unair.Ac.Id/Download-Fullpapers-Jupromkesa35197c880full.Pdf, Diakses 28 Februari 2016, Volume 1 Nomor 2, Desember 2013.
Suharto,
Edi. 2006. Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat.
Bandung:
Refika Aditama.
0 Komentar