6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Harus Dievaluasi


Tanggal 1 Januari 2014 merupakan momentum diselenggarakannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh pemerintah Indonesia. Jaminan Kesehatan yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory). Hingga per 30 september 2015, tercatat ada 152.322.190 jiwa yang telah terdaftar dalam JKN. Dengan mengusung 3 azas (kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia), 5 program (jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian), dan 9 prinsip (kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Dalam UU RI No. 24 th 2011, Pasal 1 : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Adapun dalam UU RI No. 24 th 2011, Pasal 3 : BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Namun dalam pelaksanaannya, BPJS masih saja mengalami banyak hambatan dan permasalahan. Bahkan saat ini, total aset bersih BPJS Kesehatan diperkirakan masih minus Rp 4,31 Triliun.

Jajaran Kementerian Keuangan memastikan akan segera mencairkan pembiayaan senilai Rp 1,54 triliun kepada BPJS Kesehatan, yang dananya diambil dari anggaran cadangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini pada 2015. Pencairan dana senilai Rp 1,54 triliun tersebut dilakukan menyusul kondisi arus likuiditas BPJS Kesehatan yang tengah bermasalah akibat melonjaknya animo masyarakat untuk menjadi peserta BPJS. Defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan tak terlepas dari berbagai permasalahn yang terjadi dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional ini. Permasalahan iuran adalah salah satunya. Kementerian Kesehatan melalui Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menilai harus ada penyesuaian iuran BPJS Kesehatan. Hal ini dikarenakan sudah dua tahun iuran belum naik. Direktur utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris membenarkan iuran untuk pekerja sektor non formal sebesar Rp 25.500 per bulan, dan nantinya akan diusulkan menjadi Rp 36 ribu per bulan. Pertimbangan penyesuaian iuran didasarkan lantaran dua tahun terakhir terjadi kenaikan inflasi dan kenaikan tarif pelayanan kesehatan. Jika jumlah iuran sudah disesuaikan, maka pemerintah tidak akan menyuntikkan dana lagi ke BPJS. Namun, tentu saja kenaikan iuran harus melibatkan semua pihak terkait karena tidak menutup kemungkinan, kenaikan iuran akan mengundang respons beragam dari masyarakat. Bahkan pihak BPJS mengatakan jika Kementerian Keuangan punya policy lain agar iuran tidak dinaikkan dulu dan ditutupi dengan suntikan dana, tidak menjadi masalah.

Kenaikan iuran juga hendaknya diikuti dengan perbaikan sarana prasarana pada Fasilitas Tingkat Pelayanan Pertama hingga ke tingkat pelayanan rujukan. Permasalahan lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah terkait kepesertaan BPJS kesehatan. Peserta paling banyak mendaftar dan membayar iuran ketika masih sakit, setelah sembuh premi berhenti dibayar, ada juga peserta yang pada sakit baru naik kelas perawatan. Padahal BPJS Kesehatan menganut sistem gotong royong, dimana iuran orang yang sehat diberikan kepada orang yang sakit. Maka penting kiranya kepatutan untuk membayar iuran harus digalakkan sosialisasinya kepada setiap elemen masyarakat. Di sisi lain, masyarakat masih enggan berobat ke pelayanan primer terlebih dahulu seperti puskesmasPadahal BPJS Kesehatan hampir setiap bulannya mengeluarkan dana kapitasi untuk FKTP sekitar Rp 600-700 miliar kepada + 18 ribu FKTP yang bekerjasama. Dana yang dikeluarkan tersebut juga harus diiringi dengan kualitas pelayanan kesehatan di FKTP tersebut. BPJS Kesehatan juga mendorong FKTP untuk senantiasa meningkatkan inovasi khususnya dalam upaya promotif dan preventif

BPJS Kesehatan bekerjasama dengan FKTP mengembangkan program rujuk balik serta program pengelolaan penyakit kronis. Dalam implementasi sistem kesehatan nasional prinsip managed care diberlakukan, dimana terdapat 4 (empat) pilar yaitu Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif. Perlu diingat juga bahwa, BPJS Kesehatan harus mengoptimalkan implementasi nyata program preventif dan promotif yang telah dicanangkan. Dengan melakukan penguatan di faskes primer dan mengedukasi hidup sehat, kita bisa mencegah penyakit sedini mungkin. Beberapa program BPJS Kesehatan di bidang promotif adalah komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), olahraga sehat, penyediaan sarana promosi kesehatan melalui media, serta peningkatan implementasi promprev melalui duta promotif dan preventif.

Sedangkan di bidang preventif, ada beberapa program seperti skrining, implentasi program pengelolaan penyakit kronis (prolanis). Dengan berbagai pengoptimalan program promotif dan preventif tersebut, BPJS Kesehatan dapat mendorong pengendalian biaya kuratif yang dikeluarkan. Karena Negara yang kuat itu adalah negara yang banyak orang sehatnya, bukan negara yang banyak orang sakitnya. Bahagia itu sederhana, namun bahagia dan sehat adalah luar biasa. Salam preventif, salam sehat Indonesia. Wassalam.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement