6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Menanti Masa Depan Kesehatan Pasca Diresmikannya Omnibus Law UU Kesehatan

Episode singkat terkait RUU Kesehatan akhirnya menemui jalan akhir. Hanya dalam rentang waktu kurang lebih 7 bulan pasca diusulkan di bulan desember 2022 dan diiringi demonstrasi, kemarin 12 Juli 2023 secara resmi RUU Kesehatan telah disahkan oleh DPR menjadi UU Kesehatan yang baru. Meskipun begitu, diskursus tentang UU Kesehatan ini masih terus bergulir di masyarakat khususnya di kalangan para tenaga kesehatan. Sebab, salah satu poin krusial yang menjadi konsen UU Kesehatan ini menyangkut tentang penyederhanaan berbagai regulasi bagi nakes dalam memberikan pelayanan. Ke depan, Surat Tanda Registrasi (STR) akan berlaku seumur hidup, tidak lagi harus diperbaharui sekali dalam lima tahun. Bagi yang belum tahu, STR ini merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan baik yang memberikan pelayanan medis maupun non-medis yang menandakan bahwa nakes tersebut telah berkompeten dalam profesinya masing-masing.

Polemik STR ini memang selama ini menjadi isu yang sangat sensitif. STR ini diterbitkan oleh Konsil Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan yang syaratnya telah memperoleh rekomendasi dari Organisasi Profesi (Orprof), mengikuti sumpah profesi, telah lulus Uji Kompetensi (Ukom) dan persyaratan lainnya. Dari hasil diskusi dengan beberapa rekan sejawat yang tentu tidak mau disebutkan nama dan profesinya, pengurusan STR ini memang selama ini masih dirasa sangat berlarut-larut dan kerap memakan ongkos yang tidak sedikit. Mulai dari pengumpulan Satuan Kredit Profesi (SKP) melalui seminar, workshop, dan semacamnya yang kerap kali dipersyaratkan harus bersumber dari organisasi profesi tertentu, yang kadang free namun lebih banyak berbayar. Belum lagi, persyaratan pelunasan berbagai macam iuran yang kadang dikeluhkan oleh para tenaga kesehatan. Terlebih lagi jika mempertimbangkan tingkat kesejahteraan nakes yang masih rendah.

Persoalan lainnya adalah, pengurusan STR ini acap kali dibarengi dengan pengurusan Ujian Kompetensi (UKOM) dan Surat Izin Praktik (SIP) bagi nakes medis, dan Surat Izin Kerja (SIK) bagi nakes non-medis dalam rentang waktu 5 tahun. Inilah faktor yang kadang membebani secara psikologis, waktu dan materi lantaran harus mengurus berbagai macam administrasi dalam waktu yang hampir bersamaan. Sehingga, muncullah ide dari Kementerian Kesehatan untuk menyederhanakan persoalan administrasi ini, dengan STR dan Ukom akan berlaku seumur hidup, sedangkan SIP dan SIK akan tetap wajib diperbaharui setiap lima tahun sebagai kontrol kompetensi dari setiap tenaga kesehatan.

Jika pada akhirnya, dan memang akhirnya sudah begini (merujuk telah diresmikannya UU Kesehatan), maka Kementerian Kesehatan harus benar-benar memperhatikan segala alur dan tata cara administrasi tersebut melalui Permenkes sebagai turunannya. Sebab, tentu kita tidak ingin, ke depannya bermunculan kasus-kasus malpraktik, akibat kompetensi tenaga kesehatan yang rendah. Masyarakat pun tentunya harus menagih janji-janji Kementerian Kesehatan bahwa penyederhanaan administrasi ini tidak akan berdampak pada kompetensi dan kualitas tenaga kesehatan, sebab pada akhirnya masyarakatlah sebagai sasaran pelayanan. Terlebih lagi, wewenang Organisasi Profesi yang telah semakin dibatasi membuat para nakes menanti seperti apa nantinya pola pengawasan kualitas para nakes yang akan dilakukan Kementerian Kesehatan.

Menarik disimak seperti apa muara dari UU Kesehatan ini, apakah akan melahirkan kebaikan atau malah justru semakin memperburuk sistem kesehatan? Tentu hanya waktu yang akan menjawab. 

Namun, satu isu yang pasti tidak menjadi perdebatan, TENAGA KESEHATAN KITA BELUM SEJAHTERA !!!

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement