6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

GAGAP


Dunia gagap menanggapi bencana pandemi Covid-19 ini. Sistem kesehatan ini dari awal memang tidak dirancang untuk mampu merespon cepat penularan virus corona seperti saat ini. Semua kelimpungan, semua kelabakan, semua kian membingungkan. Perekonomian terpuruk, kondisi sosial kian terdistorsi, fasilitas kesehatan tak kunjung mencukupi, SDM bertumbangan satu per satu. Tak terkecuali bagi Indonesia.

Tak cukup lagi hanya dengan himbauan, tapi pemerintah sudah sepantasnya memilih pendekatan secara represif. Mereka yang keluyuran dan tidak patuh, tangkap. Jika berulang, penjarakan. Terapkan jam malam. Paksa mereka taat, layaknya pendekatan yang dipilih Singapura selama ini. Sebab budaya kita sudah terlanjur mengakar, mengampangkan sesuatu hal yang sesungguhnya tidak segampang yang dipikirkan.

Apa yang membuat penanganan ini semakin menantang? Orang-orang mulai berpikir bahwa penyakit Covid-19 ini sebagai aib. YAH AIB. Stigma ini kian memperkeruh upaya deteksi dini dan tracing di lapangan. Mereka kian mengucilkan diri, merasa di-judge penderita corona hanya bahkan ketika diamati, yang kian mulai membentuk skenario terburuk semakin banyaknya masyarakat menyembunyikan riwayat bepergian dan gejala klinis yang dirasakan. Orang-orang tak sepenuhnya mematuhi prosedur isolasi diri di rumah, terlebih ketika menganggap dirinya baik-baik saja. Bayangkan sampai 14 hari, seharian saja tak meneguk kopi warkop mereka sudah merasa gelisah.

Padahal kita punya kesamaan harapan agar pandemi ini segera berlalu serta kerinduan bercakap tanpa harus dihalangi masker. Tapi seperti inilah gambaran real betapa sulitnya menangani sesuatu yang tak kasat mata. Apalagi kesehatan selalu dibenturkan dengan kondisi perut. Toh saat ini, tidak hanya beradu cepat dengan virus corona, namun juga berhadapan dengan perut-perut lapar warganya yang kian meringkih di tengah pandemi. Terlebih bahwa tidak ada yang tahu waktu pastinya pandemi ini berlalu. Wajar kecemasan itu mulai terdengar nyaring.

Namun jawabannya sesungguhnya ada di tangan kita masing-masing. 4 April yang lalu, Wuhan China, kota pertama yang terjangkit virus corona telah lepas dari belenggu lockdown setelah 73 hari. Mereka butuh 3 bulan lebih untuk membiarkan kembali warganya menghirup udara segar. Lantas tanpa lockdown, dengan lebih memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seberapa cepat negara ini akan mampu mengatasi pandemi ini? Semua ada di tangan kita masing-masing.

Kecepatan adalah kunci. Sehari kebijakan lambat dilaksanakan, maka virus akan bereplikasi dengan terus sangat cepat pula. Menanti landainya kurva nampaknya masih belum, bahkan prediksi ilmuwan kita justru baru mencapai puncaknya di bulan mei, hingga bisa mencapai angka ratusan ribu. Wow. Dengan hanya menguji sangat minim yaitu 65 tes PCR per 1 juta penduduk (worlddometers), sesungguhnya belum menampakkan secara real dimana saja musuh kita saat ini. Fenomena Gunung Es, singkatnya.

Yang harus dilakukan saat ini adalah menempatkan diri kita masing-masing sebagai pembawa virus. Artinya kita punya potensi untuk menularkan ke orang lain, dan kita pun punya potensi tertular dari orang lain. Take care yourself. Karantina diri kalian masing-masing untuk memutus mata rantai. Sebab virus sebenarnya hanya berdiam diri, kitalah yang membawanya kemana-mana. Cuci tangan pakai sabun, jaga jarak, pakai masker, hindari kerumunan. Sadarlah bahwa kita semualah yang justru menjadi garda terdepan menghadapi virus ini.

Ayolah kawan. Jaga Indonesia, jaga dirimu, jaga keluargamu dan jaga orang-orang di sekitarmu.

#dirumahaja
#JanganMudik
#LawanCorona
#IndonesiaKuat

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement