Alkisah pada zaman dahulu kala di tanah Luwu, di sebuah
kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang yang bergelar Maddika (Raja).
Sang Maddika memiliki tiga keturunan yaitu Pelorante, Marinding dan Patunru.
Menjelang masa tua dan kondisi kesehatannya yang mulai menurun, sang Maddika
Luwu hendak memberikan tahtanya kepada keturunannya untuk melanjutkan
kemahsyuran kepemimpinan kerajaannya.
Keturunan pertama Pelorante diamanahkan tugas untuk
memperluas wilayah kekuasaan di Tanah Toraja. Maka diputuskanlah satu diantara
Marinding dan Patunru yang akan dipilih sebagai maddika selanjutnya di
Kerajaan Luwu. Keduanya diperhadapkan
untuk mampu membuktikan diri masing-masing dalam tradisi si gajang
laleng lipa’ (saling tikam dalam satu sarung). “Hanya yang terbaik yang
akan menjadi penerusku. Siapapun yang memenangkan pertarungan ini, maka dialah
yang berhak ditasbihkan sebagai maddika selanjutnya,” ujar Maddika
Luwu.
Hingga tibalah pada hari penentuan ketika kedua keturunan
maddika ini diperhadapkan di sebuah panggung besar yang disaksikan
secara langsung oleh seluruh warga kerajaan. Dengan sombongnya, Marinding
berkata, “Kau akan kubunuh dengan sekali serang Patunru. Akulah sang Maddika.
Akulah yang paling pantas memimpin kerajaan ini.” Patunru hanya merespon dengan
tersenyum kecut. Kedua keturunan maddika itupun akhirnya saling beradu. Di
tengah pertarungan, Patunru berhasil membuat Marinding tersungkur jatuh bercucuran
darah. Diarahkannya sebilah badik ke arah leher dari Marinding.
“Bunuhlah...!! Bunuhlah aku. Seumur hidup, aku tidak akan
pernah sudi dipimpin olehmu. Lebih baik aku mati dalam pertarungan ini daripada
hidup sebagai bawahanmu,” ucap Marinding. Patunru tersentak mendengar perkataan
Marinding. Batinnya bergejolak, antara mengikuti egonya untuk menjadi maddika
atau menghentikan pertarungan itu. Tubuhnya kaku, wajahnya yang
bersimbah darah seketika lemas.
“Wahai saudaraku, kalau seperti itu keinginanmu, aku
lebih baik mengalah daripada harus terjadi pertumpahan darah,” bisik Patunru
sambil berlalu meninggalkan Marinding. Maddika Luwu yang melihat
kejadian itu dibuat geram oleh tingkah Patunru yang enggan menyelesaikan
pertarungan itu.
“Kenapa kamu tidak menyelesaikan pertarungan ini? Kembalilah dan bunuh
saudaramu itu!”
“Aku tak sanggup Pajung. Lebih baik aku tidak menjadi Maddika
Luwu daripada harus mengorbankan saudaraku sendiri.”
Mendengar jawaban Patunru, Maddika Luwu pun
semakin geram. Patunru dianggap telah melecehkan tradisi kerajaan dan tidak mau
mematuhi perintahnya.
“Ini adalah tradisi kerajaan kita, dan siapapun yang melanggarnya, maka dia
bukan hanya tidak pantas menjadi Maddika Luwu, tetapi dia juga harus
angkat kaki dari kerajaan ini meski itu anak kandungku sendiri!”
“Dengan segala hormat Pajung, tapi aku tetap tidak bisa. Aku tidak
bisa melanjutkan pertarungan ini.”
“Kalau begitu pergilah kau sekarang juga. Jangan pernah nampakkan wajahmu
di depanku lagi. Aku tak sudi melihatmu!”
“Baiklah kalau seperti itu maumu Pajung. Akan kuterima hukuman ini
sebagai bentuk pertanggungjawabanku. Aku akan pergi meninggalkan tanah Luwu ini,”
ucap Patunru.
Patunru berjalan meninggalkan panggung pertarungan. Menerobos
kerumunan warga yang masih terheran melihat sikap dari Patunru. Sebagian lagi
nampak bersedih karena merasa bahwa Patunrulah yang paling pantas menjadi maddika
selanjutnya. Namun takdir telah berkata lain. Pada akhirnya Marindinglah yang
diangkat sebagai Maddika Luwu yang baru.
Saat Patunru telah selesai mengemasi barang-barangnya dan
hendak bergegas pergi, seorang pengawal kerajaan datang menghampirinya.“Izinkanlah
aku ikut bersamamu, Maddika,” ucap Pengawal Kerajaan sembari berlutut.
“Jangan, tetaplah disini untuk membesarkan kerajaan.”
“Tapi Maddika, aku tidak bersedia dipimpin oleh maddika yang keras
kepala. Biarkanlah aku tetap mengabdi untukmu, Maddika. Anggaplah ini
sebagai balas budi akan kebaikan yang engkau tunjukkan kepadaku selama ini.”
Patunru merasa terharu mendengar ucapan pengawal kerajaan
tersebut. Dengan terpaksa, dia akhirnya mengabulkan permintaan sang pengawal
kerajaan untuk ikut bersamanya. Pengawal kerajaan tersebut kemudian menuntun
Patunru ke sebuah perahu berukuran besar yang terbuat dari bambu (Rai’)
yang telah disiapkan sebagai kendaraannya.
Betapa terkejutnya Patunru seketika dia melihat ternyata
di perahu itu para dayang-dayang kerajaan dan ratusan warga kerajaan juga telah
bersiap untuk ikut bersamanya. Bahkan lengkap dengan berbagai benda pusaka,
perkakas pertanian dan peralatan tenun, hingga hewan peliharaan kerajaan.
“Kenapa kalian semua bisa ada disini?” tanya Patunru
dengan nada terheran.
“Tidak mungkin kami tega melihat maddika kami pergi sendirian. Kami
semua adalah pengikut setiamu Maddika,” jawab warga kerajaan serentak.
Patunru tidak menyangka mendapatkan perhatian sangat
besar dari warga kerajaan. Dengan mata berkaca-kaca, dia membalas, “Kalau
begitu baiklah, kalian semua bisa ikut bersamaku.” Dia lantas berjalan menuju
ke tiang perahu. Sambil menarik nafasnya dalam-dalam dan mengamati eppa
sulapa (empat penjuru mata angin), sontak dia berteriak, “Wahai para
pengikutku, bulatkan tekad kalian. Sekali layar terbentang, kemudi telah
dipasang, pantang surut biduk ke pantai. Sammaratanna Illallah.”
Perintah telah diseru, tekad pun sudah bulat. Sejak saat
itu, dia bersumpah untuk tidak menginjakkan kembali kakinya di tanah Luwu.
Perahu pun akhirnya berlayar.
Patunru bersama para pengikutnya berencana berlayar ke
arah tenggara. Naas, di tengah perjalanan perahunya dihadang oleh gelombang dan
badai yang sangat besar sehingga menyebabkan perahunya berubah haluan ke arah
selatan. Setelah berbulan-bulan terombang-ambing, mereka pun akhirnya menemukan
sebuah perkampungan. Salah seorang pengawal kerajaan melompat turun dari perahu
dan bertanya, “Apa nama kampung ini, Pak?” Perbedaan dialek bahasa membuat
warga kampung tersebut salah terkah dan mengira yang ditanyakan itu perihal apa
yang dibawanya.
“Tanah u kokkong (tanah kubawa).”
“Oh Tanah Kongkong.” (Dipercaya sebagai cikal bakal dari nama Kelurahan
Tanah Kongkong).
Patunru lantas mengamati kampung tersebut. Tebersit kembali
dipikirannya akan tanra (tanda) yang disampaikan oleh salah seorang Sara’
(Pemuka Agama) kerajaan sesaat dia dan pengikutnya hendak meninggalkan
kerajaan. Sang Sara’ berkata, “Kelak engkau akan menemui sebuah kampung
yang memiliki kemiripan dengan tanah kelahiranmu. Di kampung itu terdapat pohon
beringin besar dengan dedaunan lebat, disesaki bebatuan, dengan aliran sungai jernih
yang ditumbuhi pohon nipah. Disana juga kelak terdapat sebuah pusaran air (gelleng)
yang sangat dalam.”
Patunru hendak mencocokkan kondisi kampung itu dengan pesan
Sara’ yang menjadi pegangannya. Selang beberapa saat, dia lantas berkata
pada pengawal kerajaan, “Masih bukan tempat ini yang kita hendak tuju.
Teruskanlah berlayar mengikuti arus sungai ini.” Untuk kesekian kalinya,
kampung ini ternyata masih belum sesuai dengan kampung yang dicari oleh
Patunru. Rasa putus asa mulai tergambar di raut wajah para pengikutnya.
“Wahai Maddika, kita sudah berbulan-bulan berlayar tapi tak kunjung mendapati
kampung yang kita tuju. Bagaimana kalau kita menangguhkan syarat dari kampung
yang hendak kita huni?” tanya sang Pengawal Kerajaan.
“Bersabarlah wahai para pengikutku, kita tetap harus yakin. Sesungguhnya petuah
dari Sara’ bukanlah kebohongan atau karangan belaka, melainkan
sebuah kebenaran yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi mereka yang tetap
meyakininya,” terang Patunru.
“Tapi bekal makanan kita mulai menipis Maddika.”
“Percayalah cepat atau lambat kita pasti ...,” Braaakkkkkk,
tiba-tiba perkataan Patunru terhenti mendengar suara benturan yang sangat
besar dari arah depan perahu.
“Suara apa itu?” tanya Patunru.
Patunru memerintahkan untuk menghentikan perahu dan meminta
pengawal kerajaan bergegas mencari tahu sumber dari suara itu.
“Barusan perahu kita menabrak batu besar akibat terbawa oleh pusaran air
yang sangat besar Maddika,” jawab Pengawal Kerajaan.
Sesaat Patunru ingin mengeceknya secara langsung, dia
dibuat kaget oleh salah seekor anjing yang turut dalam gerombolan pengikutnya
tiba-tiba melompat turun dari perahu ke sebuah batu besar sambil mengibaskan
air yang melengket di bulunya (napeppikang wae ri alena). Daerah ini
sekarang dikenal dengan nama Batuppi’.
Patunru merasa bahwa pusaran air dan refleks yang
ditunjukkan oleh anjing tersebut merupakan pertanda bahwa kampung yang hendak
dituju sudah semakin dekat. Sambil berdiri di ujung perahu, dia mengamati
pusaran air tersebut serta arus sungai yang ada di sekitarnya. Dilihatnya beberapa
daun nipah yang hanyut terbawa arus sungai. Nampak juga dari kejauhan, dia
melihat sebuah Pohon Beringin (Ajuara) yang berdiri kokoh. “Ada pusaran
air yang sangat besar, banyak bebatuan, pohon beringin yang sangat besar, serta
daun nipah yang hanyut. Ini seperti tanda-tanda kampung yang hendak kutuju.
Mungkinkah aliran sungai ini akan menuntunku ke tujuan itu?” tanya Patunru
dalam hati.
“Ada apa Maddika? Engkau tampak bingung,” tanya Pengawal Kerajaan memecah
perhatian Patunru.
“Tak apa-apa, Pengawal. Hanya saja firasatku mengatakan kalau tujuan kita
sudah semakin dekat.”
“Benarkah itu Maddika?”
“Semoga saja. Kita harus lekas melanjutkan berlayar sembari mengikuti arus
sungai kemana daun nipah itu hanyut,” seru Patunru.
Tanpa berpikir panjang, sang nahkoda perahu kemudian
melanjutkan perjalanan dengan menyusuri arus sungai kemana arah daun itu
hanyut. Di sepanjang sungai tersebut, nampak semakin banyak tumbuh pohon nipah,
yang seolah menguatkan firasat Patunru. Beberapa saat kemudian, dia melihat
sebuah perkampungan. Atas perintah Patunru, perahu mereka pun bersandar di
kampung tersebut. Tempat bersandarnya perahu Patunru inilah yang sekarang
dikenal dengan nama Biringere’ (Pinggiran Sungai).
Sambil tetap berdiri di ujung perahunya, Patunru menghela
nafasnya dalam-dalam, mengamati eppa’sulapa, serta mengamati lingkungan dari
perkampungan itu. Bulu kuduknya merinding. “Inimi kampung yang hendak kita tuju.
Pada-pada (mirip) dengan tanah kelahiran kita,” ucap Patunru.
Salah seorang warga di kampung itu yang melihat perahu
Patunru bersandar terkaget. Dengan tergesa-gesa, dia berlari menyampaikan
kepada pemimpin kampung tentang apa yang baru saja dilihatnya. Pemimpin kampung
dan seluruh warga pun bergegas menghampiri perahu besar itu.
“Siapa kamu?” tanya sang Pemimpin Kampung.
“Aku adalah Patunru. Putra Maddika dari tanah Luwu. Dan mereka semua
ini adalah pengikutku,” jawab Patunru.
“Apa yang membuat kalian bisa sampai ke kampung ini?”
“Aku dan seluruh pengikutku hendak mencari kampung baru untuk kami
tinggali. Awalnya, pelayaran kami hendak menuju ke arah tenggara. Tapi badai
besar membuat kami kehilangan arah sehingga sampailah kami disini.”
“Tapi kampung ini tak cukup layak untuk kalian tinggali. Ditambah lagi, kami
semua disini masih hidup dalam keadaan serba kekurangan.”
“Wahai Pemimpin Kampung, sungguh itu bukanlah masalah. Justru kita bisa
bersama-sama membangun kampung ini menjadi lebih baik asalkan engkau
mengizinkan kami untuk tinggal disini.”
“Tapi bagaimana bisa kalian yakin untuk tinggal disini?”
“Sebelum aku dan pengikutku meninggalkan kerajaan, aku diberikan pesan oleh
Sara’ kerajaan bahwa kelak kamu akan menemukan sebuah kampung yang
memiliki kemiripan dengan tanah kelahiranmu. Dan sungguh dalam perjalanku, dari
sekian banyak kampung yang kutemui, hanya disinilah pertanda itu berada,” tukas
Patunru meyakinkan Pemimpin Kampung.
Mendengar perkataan Patunru, pemimpin kampung merasa sangat
terhormat sekaligus tersanjung. “Sungguh mulia niatmu wahai Patunru. Dengan
senang hati, kami semua akan menerima kalian untuk tinggal di kampung ini,” tutur
Pemimpin Kampung.
Keduanya kemudian saling berpelukan sebagai simbol
kesepakatan, yang disambut gembira seluruh warga. Dan setelah melalui
musyawarah, diperoleh sebuah keputusan. “Sebagai pertanda awal mula kehidupan
yang baru, maka mulai hari ini kita akan menyebut kampung ini dengan sebutan
Kampung Barebba (Kampung Baru),” ucap Patunru yang kemudian juga disepakati
oleh seluruh warga.
Sejak saat itu Kampung Barebba berkembang secara pesat
dengan pusat pemerintahan yang dipimpin oleh Maddika Patunru. Sikap
tegas (magetteng) dan berani (materru) yang dimilikinya kemudian
diturunkan hingga melekat erat sebagai identitas warga Kampung Barebba. Para
lelaki diajarkan bercocok tanam padi dan para perempuan diajarkan untuk menenun.
Seiring perkembangan zaman, Kampung Barebba kemudian
berubah menjadi salah satu nama Dusun di Desa Bialo Kecamatan Gantarang Kabupaten
Bulukumba hingga saat ini. Lebih dari sebuah dusun, Barebba termahsyur sebagai
daerah historis yang menyimpan banyak cerita. Saksi peninggalan sejarah
diabadikan dengan berbagai peninggalan benda pusaka yang masih tersimpan rapi di
keturunan Jennang (Keturunan kerajaan yang bertugas menjaga benda
pusaka) dan terus menghidupkan kisah kebesaran Maddika di Kampung Barebba
di setiap generasi.
*Cerita ini mengandung cerita fiktif dan perubahan dan memperoleh penghargaan pada Sayembara Cerita Kab. Bulukumba tahun 2019
0 Komentar