6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

LEGENDA ASAL MULA MADDIKA DI KAMPUNG BAREBBA



Alkisah pada zaman dahulu kala di tanah Luwu, di sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang yang bergelar Maddika (Raja). Sang Maddika memiliki tiga keturunan yaitu Pelorante, Marinding dan Patunru. Menjelang masa tua dan kondisi kesehatannya yang mulai menurun, sang Maddika Luwu hendak memberikan tahtanya kepada keturunannya untuk melanjutkan kemahsyuran kepemimpinan kerajaannya.
Keturunan pertama Pelorante diamanahkan tugas untuk memperluas wilayah kekuasaan di Tanah Toraja. Maka diputuskanlah satu diantara Marinding dan Patunru yang akan dipilih sebagai maddika selanjutnya di Kerajaan Luwu. Keduanya diperhadapkan  untuk mampu membuktikan diri masing-masing dalam tradisi si gajang laleng lipa’ (saling tikam dalam satu sarung). “Hanya yang terbaik yang akan menjadi penerusku. Siapapun yang memenangkan pertarungan ini, maka dialah yang berhak ditasbihkan sebagai maddika selanjutnya,” ujar Maddika Luwu.
Hingga tibalah pada hari penentuan ketika kedua keturunan maddika ini diperhadapkan di sebuah panggung besar yang disaksikan secara langsung oleh seluruh warga kerajaan. Dengan sombongnya, Marinding berkata, “Kau akan kubunuh dengan sekali serang Patunru. Akulah sang Maddika. Akulah yang paling pantas memimpin kerajaan ini.” Patunru hanya merespon dengan tersenyum kecut. Kedua keturunan maddika itupun akhirnya saling beradu. Di tengah pertarungan, Patunru berhasil membuat Marinding tersungkur jatuh bercucuran darah. Diarahkannya sebilah badik ke arah leher dari Marinding.
“Bunuhlah...!! Bunuhlah aku. Seumur hidup, aku tidak akan pernah sudi dipimpin olehmu. Lebih baik aku mati dalam pertarungan ini daripada hidup sebagai bawahanmu,” ucap Marinding. Patunru tersentak mendengar perkataan Marinding. Batinnya bergejolak, antara mengikuti egonya untuk menjadi maddika atau menghentikan pertarungan itu. Tubuhnya kaku, wajahnya yang bersimbah darah seketika lemas.
“Wahai saudaraku, kalau seperti itu keinginanmu, aku lebih baik mengalah daripada harus terjadi pertumpahan darah,” bisik Patunru sambil berlalu meninggalkan Marinding. Maddika Luwu yang melihat kejadian itu dibuat geram oleh tingkah Patunru yang enggan menyelesaikan pertarungan itu.
“Kenapa kamu tidak menyelesaikan pertarungan ini? Kembalilah dan bunuh saudaramu itu!”
“Aku tak sanggup Pajung. Lebih baik aku tidak menjadi Maddika Luwu daripada harus mengorbankan saudaraku sendiri.”
Mendengar jawaban Patunru, Maddika Luwu pun semakin geram. Patunru dianggap telah melecehkan tradisi kerajaan dan tidak mau mematuhi perintahnya.
“Ini adalah tradisi kerajaan kita, dan siapapun yang melanggarnya, maka dia bukan hanya tidak pantas menjadi Maddika Luwu, tetapi dia juga harus angkat kaki dari kerajaan ini meski itu anak kandungku sendiri!”
“Dengan segala hormat Pajung, tapi aku tetap tidak bisa. Aku tidak bisa melanjutkan pertarungan ini.”
“Kalau begitu pergilah kau sekarang juga. Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku lagi. Aku tak sudi melihatmu!”
“Baiklah kalau seperti itu maumu Pajung. Akan kuterima hukuman ini sebagai bentuk pertanggungjawabanku. Aku akan pergi meninggalkan tanah Luwu ini,” ucap Patunru.
Patunru berjalan meninggalkan panggung pertarungan. Menerobos kerumunan warga yang masih terheran melihat sikap dari Patunru. Sebagian lagi nampak bersedih karena merasa bahwa Patunrulah yang paling pantas menjadi maddika selanjutnya. Namun takdir telah berkata lain. Pada akhirnya Marindinglah yang diangkat sebagai Maddika Luwu yang baru.
Saat Patunru telah selesai mengemasi barang-barangnya dan hendak bergegas pergi, seorang pengawal kerajaan datang menghampirinya.“Izinkanlah aku ikut bersamamu, Maddika,” ucap Pengawal Kerajaan sembari berlutut.
“Jangan, tetaplah disini untuk membesarkan kerajaan.”
“Tapi Maddika, aku tidak bersedia dipimpin oleh maddika yang keras kepala. Biarkanlah aku tetap mengabdi untukmu, Maddika. Anggaplah ini sebagai balas budi akan kebaikan yang engkau tunjukkan kepadaku selama ini.”
Patunru merasa terharu mendengar ucapan pengawal kerajaan tersebut. Dengan terpaksa, dia akhirnya mengabulkan permintaan sang pengawal kerajaan untuk ikut bersamanya. Pengawal kerajaan tersebut kemudian menuntun Patunru ke sebuah perahu berukuran besar yang terbuat dari bambu (Rai’) yang telah disiapkan sebagai kendaraannya.
Betapa terkejutnya Patunru seketika dia melihat ternyata di perahu itu para dayang-dayang kerajaan dan ratusan warga kerajaan juga telah bersiap untuk ikut bersamanya. Bahkan lengkap dengan berbagai benda pusaka, perkakas pertanian dan peralatan tenun, hingga hewan peliharaan kerajaan.
“Kenapa kalian semua bisa ada disini?” tanya Patunru dengan nada terheran.
“Tidak mungkin kami tega melihat maddika kami pergi sendirian. Kami semua adalah pengikut setiamu Maddika,” jawab warga kerajaan serentak.
Patunru tidak menyangka mendapatkan perhatian sangat besar dari warga kerajaan. Dengan mata berkaca-kaca, dia membalas, “Kalau begitu baiklah, kalian semua bisa ikut bersamaku.” Dia lantas berjalan menuju ke tiang perahu. Sambil menarik nafasnya dalam-dalam dan mengamati eppa sulapa (empat penjuru mata angin), sontak dia berteriak, “Wahai para pengikutku, bulatkan tekad kalian. Sekali layar terbentang, kemudi telah dipasang, pantang surut biduk ke pantai. Sammaratanna Illallah.
Perintah telah diseru, tekad pun sudah bulat. Sejak saat itu, dia bersumpah untuk tidak menginjakkan kembali kakinya di tanah Luwu. Perahu pun akhirnya berlayar.
Patunru bersama para pengikutnya berencana berlayar ke arah tenggara. Naas, di tengah perjalanan perahunya dihadang oleh gelombang dan badai yang sangat besar sehingga menyebabkan perahunya berubah haluan ke arah selatan. Setelah berbulan-bulan terombang-ambing, mereka pun akhirnya menemukan sebuah perkampungan. Salah seorang pengawal kerajaan melompat turun dari perahu dan bertanya, “Apa nama kampung ini, Pak?” Perbedaan dialek bahasa membuat warga kampung tersebut salah terkah dan mengira yang ditanyakan itu perihal apa yang dibawanya.
Tanah u kokkong (tanah kubawa).”
“Oh Tanah Kongkong.” (Dipercaya sebagai cikal bakal dari nama Kelurahan Tanah Kongkong).
Patunru lantas mengamati kampung tersebut. Tebersit kembali dipikirannya akan tanra (tanda) yang disampaikan oleh salah seorang Sara’ (Pemuka Agama) kerajaan sesaat dia dan pengikutnya hendak meninggalkan kerajaan. Sang Sara’ berkata, “Kelak engkau akan menemui sebuah kampung yang memiliki kemiripan dengan tanah kelahiranmu. Di kampung itu terdapat pohon beringin besar dengan dedaunan lebat, disesaki bebatuan, dengan aliran sungai jernih yang ditumbuhi pohon nipah. Disana juga kelak terdapat sebuah pusaran air (gelleng) yang sangat dalam.”
Patunru hendak mencocokkan kondisi kampung itu dengan pesan Sara’ yang menjadi pegangannya. Selang beberapa saat, dia lantas berkata pada pengawal kerajaan, “Masih bukan tempat ini yang kita hendak tuju. Teruskanlah berlayar mengikuti arus sungai ini.” Untuk kesekian kalinya, kampung ini ternyata masih belum sesuai dengan kampung yang dicari oleh Patunru. Rasa putus asa mulai tergambar di raut wajah para pengikutnya.
“Wahai Maddika, kita sudah berbulan-bulan berlayar tapi tak kunjung mendapati kampung yang kita tuju. Bagaimana kalau kita menangguhkan syarat dari kampung yang hendak kita huni?” tanya sang Pengawal Kerajaan.
“Bersabarlah wahai para pengikutku, kita tetap harus yakin. Sesungguhnya petuah dari Sara’ bukanlah kebohongan atau karangan belaka, melainkan sebuah kebenaran yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi mereka yang tetap meyakininya,” terang Patunru.
“Tapi bekal makanan kita mulai menipis Maddika.”
“Percayalah cepat atau lambat kita pasti ...,” Braaakkkkkk, tiba-tiba perkataan Patunru terhenti mendengar suara benturan yang sangat besar dari arah depan perahu.
“Suara apa itu?” tanya Patunru.
Patunru memerintahkan untuk menghentikan perahu dan meminta pengawal kerajaan bergegas mencari tahu sumber dari suara itu.
“Barusan perahu kita menabrak batu besar akibat terbawa oleh pusaran air yang sangat besar Maddika,” jawab Pengawal Kerajaan.
Sesaat Patunru ingin mengeceknya secara langsung, dia dibuat kaget oleh salah seekor anjing yang turut dalam gerombolan pengikutnya tiba-tiba melompat turun dari perahu ke sebuah batu besar sambil mengibaskan air yang melengket di bulunya (napeppikang wae ri alena). Daerah ini sekarang dikenal dengan nama Batuppi’.
Patunru merasa bahwa pusaran air dan refleks yang ditunjukkan oleh anjing tersebut merupakan pertanda bahwa kampung yang hendak dituju sudah semakin dekat. Sambil berdiri di ujung perahu, dia mengamati pusaran air tersebut serta arus sungai yang ada di sekitarnya. Dilihatnya beberapa daun nipah yang hanyut terbawa arus sungai. Nampak juga dari kejauhan, dia melihat sebuah Pohon Beringin (Ajuara) yang berdiri kokoh. “Ada pusaran air yang sangat besar, banyak bebatuan, pohon beringin yang sangat besar, serta daun nipah yang hanyut. Ini seperti tanda-tanda kampung yang hendak kutuju. Mungkinkah aliran sungai ini akan menuntunku ke tujuan itu?” tanya Patunru dalam hati.
“Ada apa Maddika? Engkau tampak bingung,” tanya Pengawal Kerajaan memecah perhatian Patunru.
“Tak apa-apa, Pengawal. Hanya saja firasatku mengatakan kalau tujuan kita sudah semakin dekat.”
“Benarkah itu Maddika?”
“Semoga saja. Kita harus lekas melanjutkan berlayar sembari mengikuti arus sungai kemana daun nipah itu hanyut,” seru Patunru.
Tanpa berpikir panjang, sang nahkoda perahu kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyusuri arus sungai kemana arah daun itu hanyut. Di sepanjang sungai tersebut, nampak semakin banyak tumbuh pohon nipah, yang seolah menguatkan firasat Patunru. Beberapa saat kemudian, dia melihat sebuah perkampungan. Atas perintah Patunru, perahu mereka pun bersandar di kampung tersebut. Tempat bersandarnya perahu Patunru inilah yang sekarang dikenal dengan nama Biringere’ (Pinggiran Sungai).
Sambil tetap berdiri di ujung perahunya, Patunru menghela nafasnya dalam-dalam, mengamati eppa’sulapa, serta mengamati lingkungan dari perkampungan itu. Bulu kuduknya merinding. “Inimi kampung yang hendak kita tuju. Pada-pada (mirip) dengan tanah kelahiran kita,” ucap Patunru.
Salah seorang warga di kampung itu yang melihat perahu Patunru bersandar terkaget. Dengan tergesa-gesa, dia berlari menyampaikan kepada pemimpin kampung tentang apa yang baru saja dilihatnya. Pemimpin kampung dan seluruh warga pun bergegas menghampiri perahu besar itu.
“Siapa kamu?” tanya sang Pemimpin Kampung.
“Aku adalah Patunru. Putra Maddika dari tanah Luwu. Dan mereka semua ini adalah pengikutku,” jawab Patunru.
“Apa yang membuat kalian bisa sampai ke kampung ini?”
“Aku dan seluruh pengikutku hendak mencari kampung baru untuk kami tinggali. Awalnya, pelayaran kami hendak menuju ke arah tenggara. Tapi badai besar membuat kami kehilangan arah sehingga sampailah kami disini.”
“Tapi kampung ini tak cukup layak untuk kalian tinggali. Ditambah lagi, kami semua disini masih hidup dalam keadaan serba kekurangan.”
“Wahai Pemimpin Kampung, sungguh itu bukanlah masalah. Justru kita bisa bersama-sama membangun kampung ini menjadi lebih baik asalkan engkau mengizinkan kami untuk tinggal disini.”
“Tapi bagaimana bisa kalian yakin untuk tinggal disini?”
“Sebelum aku dan pengikutku meninggalkan kerajaan, aku diberikan pesan oleh Sara’ kerajaan bahwa kelak kamu akan menemukan sebuah kampung yang memiliki kemiripan dengan tanah kelahiranmu. Dan sungguh dalam perjalanku, dari sekian banyak kampung yang kutemui, hanya disinilah pertanda itu berada,” tukas Patunru meyakinkan Pemimpin Kampung.
Mendengar perkataan Patunru, pemimpin kampung merasa sangat terhormat sekaligus tersanjung. “Sungguh mulia niatmu wahai Patunru. Dengan senang hati, kami semua akan menerima kalian untuk tinggal di kampung ini,” tutur Pemimpin Kampung.
Keduanya kemudian saling berpelukan sebagai simbol kesepakatan, yang disambut gembira seluruh warga. Dan setelah melalui musyawarah, diperoleh sebuah keputusan. “Sebagai pertanda awal mula kehidupan yang baru, maka mulai hari ini kita akan menyebut kampung ini dengan sebutan Kampung Barebba (Kampung Baru),” ucap Patunru yang kemudian juga disepakati oleh seluruh warga.
Sejak saat itu Kampung Barebba berkembang secara pesat dengan pusat pemerintahan yang dipimpin oleh Maddika Patunru. Sikap tegas (magetteng) dan berani (materru) yang dimilikinya kemudian diturunkan hingga melekat erat sebagai identitas warga Kampung Barebba. Para lelaki diajarkan bercocok tanam padi dan para perempuan diajarkan untuk menenun.
Seiring perkembangan zaman, Kampung Barebba kemudian berubah menjadi salah satu nama Dusun di Desa Bialo Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba hingga saat ini. Lebih dari sebuah dusun, Barebba termahsyur sebagai daerah historis yang menyimpan banyak cerita. Saksi peninggalan sejarah diabadikan dengan berbagai peninggalan benda pusaka yang masih tersimpan rapi di keturunan Jennang (Keturunan kerajaan yang bertugas menjaga benda pusaka) dan terus menghidupkan kisah kebesaran Maddika di Kampung Barebba di setiap generasi.


*Cerita ini mengandung cerita fiktif dan perubahan dan memperoleh penghargaan pada Sayembara Cerita Kab. Bulukumba tahun 2019

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement